REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Nawir Arsyad Akbar, Arif Satrio Nugroho
Polemik belum tersedianya naskah draf UU Cipta Kerja (Ciptaker) untuk diakses publik diwarnai dengan berubah-ubahnya jumlah halaman UU yang telah disahkan oleh DPR pada 5 Oktober itu. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar pada hari ini memastikan, bahwa naskah UU Cipta Kerja yang beredar di publik sebanyak 812 halaman adalah naskah final UU Cipta Kerja.
"Dengan format legal menjadi 812 halaman," kata Indra kepada Republika, Selasa (13/10).
Sebelumnya pada Senin (12/10), Indra menyebut draf terkini UU Cipta Kerja berjumlah 1.035 halaman. Bahkan, tak lama setelah DPR mengesahkan UU Ciptaker, juga sempat beredar draf final versi 905 halaman.
Indra juga tak membantah kebenaran substansi dari draf 905 halaman yang sebelumnya beredar. Draf tersebut, kata Indra merupakan draf yang disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu.
"Iya itu (905 halaman) kan yang paripurna basisnya itu, tapi kemudian itu kan formatnya kan masih format belum dirapikan. Setelah dirapikan spasinya, redaksinya segala macam itu yg disampaikan Pak Aziz itu (1.035 halaman)," kata dia.
Namun, Indra menegaskan bahwa perubahan tersebut sama sekali tidak mengubah substansi Undang-Undang.
"Ada juga penyempurnaan redaksi tapi tidak mengubah subtansinya," ungkapnya.
Dirinya juga memastikan naskah setebal 812 halaman itulah yang akan disampaikan DPR ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski, ia belum mengungkapkan kapan naskah final tersebut akan diserahkan ke Presiden.
"Sedang diatur waktunya," ujarnya.
Klaster Riset dan Inovasi dalam UU Ciptaker akan Pangkas Birokrasi https://t.co/r8hCpYN0AS pic.twitter.com/Atku0mW8aN
— DPR RI (@DPR_RI) October 12, 2020
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan, batas waktu terakhir finalisasi naskah UU Ciptaker adalah besok, Rabu (14/10). Ia menjelaskan, rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja digelar pada Senin (5/10).
Sesuai dengan Tata Tertib (Tatib) DPR, RUU tersebut memiliki batas waktu hingga 7 hari kerja sejak diputuskan menjadi undang-undang. Adapun, pada Sabtu (10/10) dan Ahad (11/10) tak dihitung sebagai hari kerja.
"Untuk 7 harinya jatuh pada hari Rabu 14 Oktober 2020 sesuai dengan mekanisme dalam Tatib DPR RI pasal 164 ayat (5)," jawab singkat Azis kepada wartawan, Selasa (13/10).
Kemudian, menurut Pasal 73 ayat (1) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU itu disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Pengamat politik Ujang Komarudin khawatir draf UU Ciptaker diutak-atik sebelum diserahkan ke Presiden. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini mengatakan, terus berubahnya jumlah halaman draf UU Ciptaker usai diparipurnakan ini semakin menunjukkan bahwa RUU ini tidak didukung oleh masyarakat luas.
"Isi UU-nya bisa saja diutak-atik dan diubah-rubah kembali sesuai selera. Itu bukan rahasia umum lagi. Bisa saja perubahan halaman itu dirubah, diutak-atik, atau dihaluskan bahasa dan isinya," ujar pengajar Universitas Al-Azhar Indonesia itu pada Republika.co.id, Selasa (13/9).
Pengubahan, kata Ujang, bisa saja dilakukan agar yang tadinya pasal-pasalnya merugikan kaum pekerja (buruh) dan rakyat Indonesia diperhalus seolah-olah sesuai dengan yang dituntut oleh rakyat. "Itu permainan tingkat tinggi. Aneh memang. Tapi nyata. Dan terjadi," kata Ujang.
Jika DPR dan Pemerintah membuat UU Ciptaker sesuai dengan keinginan rakyat, lanjut dia, maka permainan perubahan halaman dan "perubahan" isi pasal tak akan terjadi. Sebab, lanjutnya, bagaimana mungkin saat Rapat Paripurna DPR yang mengesahkan UU Ciptaker, para anggota DPR nya tidak memegang draf asli dan finalnya.
"Dan anehnya, di Bappenas saja, mereka punya dua versi. (Karena saya dapat laporan dari teman di Bappenas)," kata Ujang.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, beragam versi naskah UU Ciptaker yang beredar di publik bukanlah sesuatu hal kebetulan. Ia menduga hal tersebut sengaja didesain untuk mengacaukan informasi di ruang publik.
"Adanya naskah yang beragam versi tersebut hanya akan membuat publik mempersoalkan hal-hal teknis soal ketersediaan naskah RUU tanpa punya bahan yang valid untuk mengkritisi substansi RUU tersebut," kata Lucius dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (13/10).
Menurutnya, situasi tersebut membuat DPR dan pemerintah leluasa memastikan substansi RUU Ciptaker yang sesuai keinginan DPR dan pemerintah berjalan mulus sampai UU tersebut diundangkan. "Ketidaktersediaan naskah valid yang resmi di ruang publik nampaknya akan memudahkan DPR dan Pemerintah untuk mengontrol substansi yang mereka inginkan tetap tercantum dalam naskah final yang akan langsung diundangkan nanti," ujarnya.
Lucius juga mengkhawatirkan, sulitnya publik mengakses naskah final UU Ciptaker membuat pemerintah dengan mudahnya menuduh penolak UU Ciptaker sebagai penyebar hoaks, atau informasi sesat. Selain itu, DPR dan pemerintah dikhawatirkan juga bisa menuduh publik yang mengkritik belum membaca naskah UU yang final.
Adapun, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, inkonsistensi jumlah halaman UU Ciptaker menodai proses legislasi. Ia bahkan menilai telah terjadi kejahatan konstitusi.
"Inkonsistensi naskah RUU Ciptaker pasca pengesahan adalah kejahatan konstitusi, juga pelanggaran berat terhadap proses legislasi," kata pada Republika.co.id, Selasa (13/10).
Dengan kondisi itu, Dedi menilai bahwa naskah RUU Ciptaker rusak, karena tidak sesuai dengan keputusan paripurna. Seharusnya, kata Dedi, jika masih terdapat kekeliruan naskah dalam hal apapun, maka tidak dapat disahkan sampai perbaikan paling final.
Pengamat politik itu menilai, perubahan-perubahan yang terjadi menandai DPR tidak siap dengan kerja legislasi terkait UU Ciptaker. Hal ini pun semakin mengesankan bahwa undang-undang ini terlalu dipaksa untuk disahkan.
"Kerja semacam ini jelas menurunkan kualitas UU yang dihasilkan. Sisi baiknya, masyarakat menjadi tahu kadar kualitas anggota parlemen, khususnya dalam pengesagan UU Ciptaker ini," kata Dedi.