REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elvina A.Rahayu
Konsep berbasis risiko adalah konsep yang digunakan untuk menyederhanakan perizinan berusaha yang digunakan pada Omnibuslaw. Perizinan berusaha berdasarkan penetapan tingkat resiko dan peringkat skala usaha yang diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya tersebut.
Output dari proses ini adalah kegiatan (1) usaha beresiko rendah, (2) usaha berisiko menengah (menengah rendah dan tinggi) dan (3) usaha berisiko tinggi.
Kegiatan usaha beresiko rendah, maka secara otomatis akan langsung diberi nomor induk usaha sebagai suatu legalitas usaha. Sementara untuk usaha berisiko menengah ada 2 pendekatan , yaitu pemberian nomor induk usaha dan penyataan sertifikasi standar sementara yang menengah tinggi dibutuhkan nomor induk usaha dan pemenuhan sertifikasi standar. Sementara untuk usaha beresiko tinggi, maka pelaku usaha harus memenuhi nomor induk usaha dan izin usaha sebelum melakukan kegiatannya.
Self Declare
Pada pasal 4A ayat 1 dan 2 UU Omnibus law, dinyatakan pelaku usaha mikro kecil kewajibannya untuk bersertifikasi halal berdasarkan pernyataan pelaku usaha sendiri. Mekanisme ini nantinya diatur berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. Maka terkait self declare ini kemudian akan diatur pada standar atau tepatnya regulasiyang akan dibuat oleh BPJPH atau PP.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam membuat turunan dari aturan ini,ditinjau dari perspektif halal sebagai berikut: (1) dengan mengabaikan skala usahanya, maka usaha mikro kecil ini dapat memiliki resiko dengan jenis bahaya yang tinggi dan peluang kejadiannya pun tinggi. Sehingga kegiatan usaha mikro kecil bisa memiliki resiko tinggi. Contohnya pedagang bakso yang mangkal atau keliling, penjual somay, dan warung makanan siap saji. (2) Pemilik usaha mikro kecil , bukan Muslim. Bagaimana kemudian urusan kehalalan umat Islam diserahkan pada mekanisme pernyataan diri dari pemilik yang bukan Muslim, tanpa ada bukti/verifikasi.
(3) Bagaimana pemenuhan persyaratan halal untuk proses produksinya, jika self declare ini diberlakukan. Karena status halal tidak hanya berdasarkan ouput (produk) semata, namun juga dipengaruhi proses produksinya. (4) Pasal 28 yang merupakan pasal perubahan disampaikan bahwa penyelia halal yang mendampingi UMK dapat berasal dari Ormas. Maka masalah kompetensi sesuai dengan kluster pelaku usaha harus menjadi poin penting dalam PP yang mengatur penyelia halal ini.
Kerja Sama MUI dan BPJPH
Pasal 10 UU Omnibuslaw, menyampaikan pengurangan skup kerjasama atara MUI dan BPJPH. Jika awalnya kerja sama dalam penetapan halal, sertifikasi auditor halal dan akreditasi LPH, maka revisi terbaru kerja sama itu hanya terbatas pada penetapan halal. Poin sertifikasi auditor dan akreditasi LPH hilang. Sementara pada pasal 13 wewenang BPJPH terhadap akreditasi LPH pun tidak ada lagi dan mekanismenya akan diatur oleh PP.
Jika melihat pada fungsi BPJPH dan LPH pada kerangka UU JPH No.33, maka LPH berfungsi sebagai sub kon dari BPJPH dalam melakukan fungsi sertifikasi. Karenanya dalam konteks ini maka BPJPH lah yang harus diakreditasi bukan LPH. Ini yang nantinya harus termaktub dalam PP yang mengatur tentang pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia. Karena keberadaan awal UU JPH memposisikan BPJPH sebagai operator sekaligus regulator.