Selasa 13 Oct 2020 16:21 WIB

Pilkada Saat Pandemi Potensial Silent Money Politic

Pilkada identik dengan kerumunan massa yang melibatkan banyak orang.

Pilkada (ilustrasi). Pilkada saat pandemi berpotensi menyebabkan money politic karena masyarakat yang terdampak perekonomiannya membutuhkan uang.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada (ilustrasi). Pilkada saat pandemi berpotensi menyebabkan money politic karena masyarakat yang terdampak perekonomiannya membutuhkan uang.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Guru besar Fakultas Ilmu Administrasi UI, Prof Dr Eko Prasojo, mengatakan Pilkada pada masa pandemi Covid-19 dapat berpotensi memberikan dampak adanya money politic atau politik uang secara silent. Alasannya, ada kebutuhan ekonomi rakyat yang terdampak pandemi.

"Pilkada di tengah pandemi Covid-19 juga dapat berpotensi memberikan dampak di antaranya pada minimnya kualitas interaksi calon dan masyarakat. Pilkada akan menjadi ritualitas demokrasi atau prosedural semata, tidak terjadi konsolidasi demokrasi lokal," kata dia, dalam keterangannya, Selasa (13/10).

Baca Juga

Namun pada sisi lain, katanya, jika Pilkada tidak dilaksanakan, maka akan berdampak pada Pjs kepala daerah tidak dapat membuat keputusan strategis. Di antaranya tentang pemakaian dana negara, organisasi, SDM, program pembangunan mengikuti tahun anggaran 2020, terjadi penundaan berbagai program pembangunan.

Ia juga menyebutkan bahwa terbuka opsi Pilkada tidak langsung oleh DPRD. Pilkada tidak langsung melalui DPRD sangat dimungkinkan berdasarkan pasal 18 UUD 1945, serta tidak menghilangkan esensi demokrasi.

"Namun di sisi lain, pilkada oleh DPRD juga tetap berpotensi money politic oleh politisi dan pengusaha, serta perlu melakukan perubahan UU Pilkada atau melalui Perppu yang membutuhkan waktu,” ujar Eko, yang juga merupakan dekan FIA UI.

Sementara itu guru besar FISIP UI, Prof Dr Valina Singka Subekti, mengatakan Pilkada serentak sangat kompleks, rumit, dan berbiaya mahal. Pilkada identik dengan kerumunan massa yang melibatkan banyak orang.

Setidaknya terdapat 715 pasangan calon, 106 juta lebih pemilih, ratusan ribu TPS, dan jutaan petugas KPPS. Pilkada dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, ekonomi, kultural.

Pilkada diharapkan bukan hanya sekadar ritual prosedural elektoral tetapi pilkada harus dapat menjamin melahirkan kepala daerah berkualitas untuk menjamin tata kelola daerah yang baik guna mempercepat kemakmuran di daerah-daerah.

Pertanyaannya, apakah pilkada serentak pada situasi pandemi Covid-19 mampu menghasilkan pilkada yang sehat dan kepala daerah berkualitas?” Prof Valina membuka opsi untuk melakukan penundaan, yaitu opsi penundaan serentak ataupun penundaan secara parsial. Menurutnya, selama melakukan penundaan, dapat dilakukan upaya pengendalian persebaran Covid-19, menyiapkan dasar hukum yang lebih kuat, inovasi pengaturan perpanjangan waktu untuk pemungutan suara.

Selain itu perhitungan rekapitulasi suara secara elektronik, pemungutan suara via pos, kotak suara keliling, inovasi skema sanksi pelanggaran secara tegas dan menimbulkan efek jera, seperti penghentian kampanye atau diskualifikasi apalagi melanggar protokol kesehatan, memberi pemahaman pada petugas pemilu dan pemilih mengenai pilkada dengan protokol kesehatan.

"Peran KPU sangat penting dalam pelaksanaan Pilkada. Pelaksanaan Pilkada perlu sangat berhati-hati, sehat dan aman jiwa. Untuk itu, perlu dilakukan mitigasi risiko," ujar dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement