REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelelawar menjadi salah satu hewan yang diyakini membawa virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), yang menyebabkan infeksi penyakit COVID-19. Hal itu menyebabkan banyak orang khawatir jika berada dekat dengan area atau lingkungan mamalia terbang ini. Bahkan terkadang ada tindakan ekstrem dilakukan seperti mencoba memusnahkannya.
Dilansir BBC, seorang ahli ekologi berama Mathieu Bourgarel mengatakan nampaknya banyak orang di seluruh dunia yang salah paham terhadap kelelawar. Ia mengatakan bahwa sebenernya orang-orang takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak mereka ketahui.
Bourgarel adalah seorang ‘pemburu virus’ untuk lembaga penelitian Prancis, Cirad. Dia bekerja dengan rekan-rekannya di Universitas Zimbabwe, pergi ke sebuah gua yang dikenal sakral berisi banyak kelelawar di negara Afrika itu untuk mengumpulkan sampel dan kotoran dari hewan tersebut.
Dengan mengenakan masker, baju terusan, dan tiga lapis sarung tangan, dia turun ke dalam kegelapan, menuruni tangga tali dan masuk melalui ruang gua yang sempit. Bau kelelawar ada di mana-mana, bahkan kotorannya mengendap berlapis-lapis di lantai gua seperti layaknya salju.
Penelitian ini adalah bagian dari upaya di seluruh dunia untuk menyelidiki keragaman dan susunan genetik dari virus yang dibawa kelelawar. Saat kembali ke laboratorium, para ilmuwan mengekstrak dan mengurutkan materi genetik virus kelelawar. Mereka telah menemukan virus corona yang berbeda, termasuk satu di keluarga yang sama dengan SARS dan COVID-19.
“Penduduk lokal sering mengunjungi habitat kelelawar ini, untuk mengumpulkan guano untuk digunakan sebagai pupuk bagi tanaman mereka. Oleh karena itu penting untuk mengetahui patogen yang dibawa oleh kelelawar tersebut, karena dapat ditularkan ke manusia,” kata Elizabeth Gori dari Universitas Zimbabwe.
Sejumlah ahli telah meluncurkan kampanye Don’t Blame Bats (Jangan Salahkan Kelelawar) untuk menghilangkan ketakutan dan mitos yang tidak berdasar tentang kelelawar, yang mengancam konservasi. Mereka mengatakan kelelawar adalah beberapa hewan yang paling sering disalahpahami di Bumi, terlebih semakin meningkat saat pandemi COVID-19.
Asal muasal virus yang telah menyebabkan pandemi saat ini memang belum diketahui. Namun, sebagian besar ilmuwan setuju bahwa ada hewan yang disilangkan ke manusia dari spesies yang kemungkinan besar kelelawar.
Tetapi, Itu tidak berarti kelelawar harus disalahkan. Campur tangan manusia yang semakin meningkat terhadap makhluk-makhluk liar inilah yang menjadi akar masalahnya.
Kebanyakan wabah penyakit yang muncul dapat dikaitkan dengan kerusakan alam oleh manusia. Ketika hutan atau padang rumput dihancurkan untuk menggembalakan ternak, untuk menanam kedelai atau untuk membangun jalan dan permukiman, hewan liar dipaksa untuk lebih dekat dengan manusia dan ternak, memberikan kesempatan bagi virus untuk melompat.
"Tidak dapat disangkal bahwa kelelawar, seperti banyak kelompok hewan lainnya, menghadirkan risiko nyata sebagai inang penyakit yang berpotensi berbahaya," kata Ricardo Rocha dari Universitas Porto, Portugal.
Penyakit zoonosis
Para ilmuwan memperkirakan bahwa tiga dari setiap empat penyakit menular baru atau yang muncul pada manusia berasal dari hewan. Pada 2002, ketika SARS, muncul di Cina dan menewaskan hampir 800 orang di seluruh dunia, peringatan bahaya potensi penularan dari hewan ke manusia datang.
Pada 2017, para peneliti mengidentifikasi koloni kelelawar tapal kuda yang hidup di gua-gua terpencil di provinsi Yunnan yang menyimpan potongan genetik virus SARS manusia. Mereka kemudian memperingatkan bahwa penyakit serupa bisa muncul lagi, dan terbukti benar.
Rocha mengatakan dibandingkan menyalahkan satu spesies atau lainnya, manusia perlu menilai kembali bagaimana hubungan dengan alam. Ia menunjukkan bahwa kelelawar sangat penting untuk ekosistem yang sehat dan kesejahteraan manusia.
Kelelawar memiliki banyak manfaat
Kelelawar menekan serangga yang berkerumun di atas tanaman. Tanaman di daerah tropis mengandalkannya untuk penyerbukan, termasuk kakao, vanilla, dan durian. Hewan ini kemudian menyebarkan benih pohon yang ditemukan di hutan hujan, membantu memerangi perubahan iklim.
Karena itu, akan menjadi hal yang sangat mengerikan jika kelelawar justru dimusnahkan. Hal ini karena pada dasarnya penyebaran penyakit dari hewan ke manusia lebih banyak tentang manusia yang merambah wilayah mereka daripada sebaliknya.
Ada laporan terpisah tentang reaksi terkait COVID-19 terhadap kelelawar, termasuk pembunuhan aktual atau yang disengaja di Peru, India, Australia, Cina, dan Indonesia. Para ilmuwan memperingatkan bahwa beberapa tindakan yang salah arah dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi spesies kelelawar yang rentan dan bahkan meningkatkan risiko penyebaran penyakit.
"Perhatian utama adalah bahwa banyak spesies kelelawar terancam punah, jadi bahkan kejadian kecil dari kekerasan yang salah arah dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan memiliki efek aliran bencana bagi ekosistem yang diandalkan manusia," kata Douglas MacFarlane dari University of Cambridge.
Kelelawar telah hidup berdampingan dengan manusia selama berabad-abad. Bahkan, di Universitas Coimbra di Portugal, kelelawar telah menempati perpustakaan abad ke-18 selama lebih dari 300 tahun, Hewan ini memakan serangga yang mungkin bisa menghancurkan buku-buku penting di tempat itu.