REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari mengklaim bahwa pemerintah akan mengakomodir kepentingan buruh atau pekerja dalam omnibus law. Dia mengatakan, hal itu akan dipenuhi di dalam peraturan turunan dari regulasi sapu jagat tersebut.
"Yang belum ada di UU akan diperjelas di PP. Jangan pikir buruk dulu pemerintah tak akan mengakomodir," kata Dita dalam keterangan, Selasa (12/9).
Dia mengatakan, serikat buruh yang tidak setuju terhadap UU Cipta Kerja masih memiliki peluang untuk memperbaiki regulasi tersebut melalui penyusunan Peraturan Pemerintah (PP). Lanjutnya, hal itu agar UU tersebut lebih terasa berpihak kepada pekerja.
Dita menjelaskan, ketentuan terkait lama kontrak hingga Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) akan diatur secara detail dalam aturan turunan yang akan disusun pemerintah. Lanjutnya, kalangan buruh memiliki kesempatan mengubah ketentuan yang tidak berpihak kepada mereka melalui dialog yang akan digelar pemerintah.
"Saya yakin bisa diubah di PP. Jadi apa yang belum dicantumkan misalnya soal lama kontrak, outsourcing, PKWT yang sudah masuk di Cipta Kerja tinggal dibahas saja durasi waktu lama kontrak," katanya.
Hal tersebut diungkapkan Dita menyusul adanya penolakan UU Omnibus Law. Dia meminta semua pihak yang menolak keberadaan produk hukum tersebut agar lebih bersabar.
Seperti diketahui, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ciptaker menjadi undang-undang. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna Masa Sidang IV tahun sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10) sore.
Kebijakan tersebut lantas mendorong aksi massa menolak pengesahan Omnibus Law terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tidak sedikit demonstrasi yang terjadi berakhir ricuh antara massa dan dan petugas hingga terjadi perusakan fasilitas publik.
Presiden Joko Widodo mempersilakan jika ada pihak yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja untuk menempuh jalur konstitusi. Bekas gubernur DKI Jakarta ini memberi peluang agar penentang UU Ciptaker mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).