REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menanggapi penangkapan sejumlah aktivisnya oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, di antaranya anggota Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Presidium KAMI terdiri atas Gatot Nurmantyo, Rochmat Wahab, dan M Din Syamsudin.
Dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Rabu (14/10), ada sejumlah poin yang disampaikan menanggapi pernyataan itu. Di antaranya KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut dan dinilai sebagai tindakan represif, tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Kemudian, KAMI menolak secara kategoris penisbatan atau pengaitan tindakan anarkis dalam unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa dan belajar dengan organisasi KAMI. Menurut pernyataan tersebut, KAMI memang mendukung mogok nasional dan unjuk rasa kaum buruh sebagai bentuk penunaian hak konstitusional. Tapi secara kelembagaan KAMI belum ikut serta, kecuali memberi kebebasan kepada para pendukungnya untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan.
Selain itu, KAMI meminta Polri untuk mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang menyelusup ke dalam barisan pengunjuk rasa dan melakukan tindakan anarkis termasuk pembakaran sebagaimana diberitakan oleh media sosial. Presidium KAMI juga meminta Polri membebaskan para Tokoh KAMI dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITEkarena dinilai banyak mengandung 'pasal-pasal karet' yang dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara.
Kalaupun UU ITE tersebut mau diterapkan, KAMI meminta Polri harus berkeadilan. Yaitu tidak hanya membidik KAMI, sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujian kebencian yang berdimensi SARA.
Polri menangkap beberapa aktivis KAMI di Jakarta dan Medan. Mereka adalah anggota Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Tidak hanya Syahganda dan Jumhur, petinggi KAMI lainnya, yakni Deklarator KAMI Anton Permana dan seorang penulis sekaligus eks caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kingkin Anida juga ditangkap. Sementara di Medan, Sumatra Utara, polisi juga menangkap Ketua KAMI Sumatera Utara, Khairi Amri dan beberapa aktivis, yakni Juliana, Devi, dan Wahyu Rasari Putri.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menetapkan tiga aktivis sebagai tersangka pelanggaran Undang-undang ITE. Ketiganya yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono menegaskan ketiganya sudah menjadi tersangka dan ditahan. "Sudah ditahan. Namanya sudah ditahan, sudah jadi tersangka-lah," kata Brigjen Awi di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (14/10).
Namun Awi belum merinci kasus yang menjerat ketiga aktivis itu. Rencananya polisi akan merilis secara resmi kasus tersebut pada Kamis (15/10).
Delapan aktivis KAMI di Medan, Jakarta, Depok dan Tangsel dalam rentang waktu 9-13 Oktober 2020.
Kingkin Anida telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka terkait adanya penyebaran hoaks yang memicu unjuk rasa menentang Undang-undang Cipta Kerja. Para tersangka akan dijerat Pasal 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau Pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Para tersangka juga terancam hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengomentari penangkapan sejumlah tokoh KAMI. Menurutnya peristiwa tersebut menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia.
"Semua penangkapan mesti didasari norma hukum yang tegas," kata Mardani kepada Republika, Rabu (14/10).
Mardani menilai selama ini UU ITE sering dijadikan dasar penangkapan. Padahal, imbuhnya, kasus tersebut seharusnya didudukkan proporsinya sesuai dengan hak dasar kebebasan menyampaikan pendapat dan hal berserikat.
"Kami, PKS sudah menggagas agar ada revisi dalam pasal UU ITE khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di sosial media. Apakah ini tes pada KAMI atau kekuatan sipil lainnya waktu yang akan menjawabnya," tuturnya.
KAMI menuding penangkapan pegiat KAMI tersebut bersifat politis. Menanggapi itu, Mardani mengajak seluruh elemen masyarakat bersatu menjaga agar iklim kebebasan berpendapat tetap terjaga.
"Tugas kepolisian membuktikannya dengan profesional," ujarnya.