REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan tiga Jaksa penyidik Kejaksaan Agung yang menangani perkara mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari ke Komisi Kejaksaan (Komjak), Rabu (14/10). Laporan tersebut langsung diterima Ketua Komjak Barita Simanjuntak.
Dalam laporannya, ICW menduga ketiga Jaksa penyidik berinisial SA, WT dan IP telah melanggar kode etik saat menyidik kasus tersebut. Salah satunya dengan tidak mendalami sejumlah hal berkaitan dengan kasus Pinangki, termasuk keterlibatan pihak lain.
"Pada hari ini ICW melaporkan Jaksa Penyidik perkara Pinangki Sirna Malasari ke Komisi Kejaksaan karena diduga melakukan pelanggaran kode etik saat menyidik perkara tersebut. Pelaporan dilakukan pukul 12.00 WIB dan diterima oleh Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers secara daring, Rabu (14/10).
Menurut ICW terdapat sejumlah dugaan pelanggaran etik yang dilakukan ketiga penyidik. Pertama, diduga ketiga jaksa penyidik tidak menggali kebenaran materiil kasus Pinangki.
Salah satunya mengenai keterangan Pinangki yang mengaku bersama seorang bernama Rahmat bertemu buronan sekaligus terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra di Malaysia pada 12 November 2019. Saat itu, berdasarkan pengakuan Pinangki, Djoko S Tjandra percaya begitu saja kepada Pinangki untuk dapat mengurus permohonan fatwa ke MA melalui Kejaksaan Agung.
Padahal, Pinangki 'hanya' menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung. Dan sudah jelas tertulis dalam Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Namun, dalam penanganan perkara ini, ICW melihat penyidik tidak mendalami lebih lanjut keterangan Pinangki mengenai pertemuannya dengan Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa. Padahal, terdapat sejumlah kejanggalan terkait pengakuan Pinangki tersebut.
"Secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap, seperti Djoko S Tjandra, yang telah melarikan diri selama sebelas tahun, bisa langsung begitu saja percaya dengan seorang Jaksa yang tidak mengemban jabatan penting di Kejaksaan Agung untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung," ujar Kurnia.
Dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pun telah mengatur terkait fatwa bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini. Permohonan fatwa itu tidak bisa diajukan oleh individu masyarakat, melainkan lembaga negara.
Jika dalam konteks kasus Pinangki fatwa yang diinginkan melalui Kejaksaan Agung, maka pertanyaan berikutnya adalah apa tugas dan kewenangan Pinangki sehingga bisa mengurus sebuah fatwa dari lembaga negara dalam hal ini Kejaksaan Agung. "Pertanyaan lanjutannya, lalu apa yang membuat Djoko S Tjandra percaya?," tegas Kurnia.
Kemudian, dugaan pelanggaran etik lainnya yang diduga dilakukan penyidik yakni tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung. Padahal, dalam banyak pemberitaan disebutkan bahwa dalam laporan hasil pemeriksaan bidang pengawasan di Kejaksaan Agung, Pinangki sempat mengaku melaporkan kepada Pimpinan setelah bertemu Djoko S Tjandra saat baru saja kembali ke Indonesia.
Namun, ICW menduga dalam proses penyidikan, penyidik Kejaksaan tidak menelusuri pimpinan yang dimaksud Pinagki tersebut. Tak hanya itu, ICW juga menduga ketiga penyidik tidak mendalami peran-peran Pihak yang selama ini sempat diisukan terlibat dalam perkara Pinangki.
ICW melihat dan mencermati beberapa pernyataan yang disampaikan pihak tertentu dalam berbagai pemberitaan, bahwa terdapat beberapa istilah dan inisial yang sempat muncul ke tengah publik, seperti istilah 'bapakmu' atau inisial 'BR' dan 'HA.
"Dalam konteks ini, ICW meragukan Penyidik telah mendalami terkait dengan istilah dan inisial-inisial tersebut. Bahkan, jika telah didalami dan ditemukan siapa pihak itu, maka orang-orang yang disebut seharusnya dipanggil ke hadapan Penyidik untuk dimintai klarifikasinya," kata Kurnia.
Dugaan pelanggaran etik lainnya, ketiga penyidik diduga tidak berkoordinasi dengan KPK pada Proses Pelimpahan perkara Pinangki ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, Pasal 6 huruf d juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menyatakan lembaga antikorupsi berwenang melakukan supervisi terhadap penanganan tindak pidana korupsi pada lembaga penegak hukum lain.
Bahkan KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Terlebih, KPK telah menerbitkan surat perintah supervisi perkara Pinangki di Kejaksaan Agung pada 4 September 2020 lalu.
"Semestinya, setiap tahapan penanganan perkara tersebut, Kejaksaan Agung harus berkoordinasi dengan KPK. Namun, pada tanggal 15 September 2020 Kejaksaan Agung langsung melimpahkan berkas perkara Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Kourupsi. ICW menduga kuat Kejaksaan Agung tidak atau belum berkoordinasi dengan KPK ihwal pelimpahan itu," ujar Kurnia.
Atas dasar itu, ICW menduga ketiga penyidik telah melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa yang berbunyi 'Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa adalah menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur, dan adil'.
Dengan menyampaikan laporan ini, lanjut Kurnia, ICW meminta Komisi Kejaksaan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik tersebut berdasarkan Pasal 4 huruf a Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi Komisi Kejaksaan berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
"Jika nantinya laporan ini terbukti benar, dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap para Penyidik, maka ICW mendesak Komisi Kejaksaan agar merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk memberi sanksi tegas terhadap para Penyidik," tegas Kurnia.