REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara-negara dunia akan mengevaluasi langkah penanganan pandemi di masa yang akan datang, belajar dari Covid-19 yang menjangkiti puluhan juta manusia sepanjang 2019 sampai 2020 ini. Pembicaraan mengenai hal ini akan dilakukan pada forum PBB, Global Platform Disaster Risk Reduction, yang rencananya digelar di Bali pada 2022 mendatang.
Namun karena fokus dari forum ini adalah pengurangan risiko bencana, maka evaluasi penanganan pandemi akan memprioritaskan dampak kebencanaan nonalam. Sedangkan penanganan dari sisi kesehatan tetap berada di ranah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Tentunya masuk (pembahasan) ya. Bencana ini kan kita kategorikan paling tidak ada 4 klaster. Salah satunya klaster bencana nonalam," ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dalam keterangan pers usai rapat terbatas, Kamis (15/10).
Negara di seluruh dunia, ujar Doni, belajar banyak hal dari pandemi Covid-19 masih berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan pengalaman ini, maka panitia penyelenggara GPDRR Bali 2022 mendatang akan berkoordinasi dengan PBB untuk memasukkan studi kasus dari berbagai negara dalam menangani pandemi di masing-masing wilayahnya.
"(Negara studi kasus) akan diberikan kesempatan untuk sampaikan langkah-langkah penanganan yang telah dilakukan sehingga memberikan keberhasilan dalam kendalikan wabah Covid-19," ujar Doni.
Virus SARS Cov-2 sendiri telah menginfeksi lebih dari 38,7 juta orang per Kamis (15/10). Jumlah kasus kematian menyentuh 1 juta orang di seluruh dunia. Sementara Indonesia, setelah tujuh bulan pandemi berjalan, masih berjuang keras untuk menekan angka penularan yang masih tinggi.
Selain bencana nonalam, masih ada empat klaster bencana yang akan dibahas dalam GPDRR nanti. Dalam penanganan kebencanaan, ada klaster geologi dan vulkanologi yang terdiri dari bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung api.
Kemudian ada klaster hidrometeorologi yang sifatnya kering, seperti bencana alam berupa kekeringan dan kebakaran hutan lahan (karhutla). Indonesia sendiri sempat mengalami bencana karhutla parah pada 2015 lalu yang menimbulkan kerugian ekonomi hingga 16,1 miliar dolar AS.
Klaster selanjutnya adalah hidrometerologi yang sifatnya basah, seperti bencana alam banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, hingga abrasi pantai. Klaster ini cenderung terjadi setiap tahunnya dengan korban jiwa yang cukup banyak.