REPUBLIKA.CO.ID, Sejak awal, Samuel Phillips Huntington telah melukiskan kemungkinan-kemungkinan terjadinya benturan peradaban antara Barat dengan Islam. Dalam bukunya berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order" (1998), Huntington menuturkan bahwa benturan sivilisasi tidak dapat dihindari.
Setelah perang dingin dan jatuhnya rezim komunis Rusia, pentas dunia akan segera diisi dengan benturan peradaban Barat dengan non-Barat. Ini berarti seluruh faktor esensial dunia, sendi-sendi kehidupan, dan hubungan antar bangsa, yakni peradaban, budaya, dan agama akan dikerahkan dalam sebuah konfrontasi.
John Naisbitt dalam "Megatrend 2000" (1990: Bab IX) menulis bahwa abad 21 sebagai era spiritual yang ditandai gejala Barat untuk kembali kepada spiritualitas Timur.
Keadaan ini idealnya menjadi momentum untuk menurunkan tensi arogansi politik Barat untuk melihat kembali tata hubungan dengan Islam yang selama ini berjalan antagonis. Ini penting karena masalah terorisme erat kaitannya dengan dominasi dan identitas kelompok yang terabaikan.
Amerika (baca: Barat) yang mendominasi peradaban, kebudayaan dalam bentuk modal, teknologi dan organisasi, penguasaan terhadap media, sangat perlu untuk memulai sikap baru.
Di era globalisasi, di mana kesadaran mengenai pluralisme mencapai puncaknya yang tertinggi, maka kesadaran itu harus diletakkan di atas kehidupan sepadan dengan kenyataan dan kesadaran tentang pluralisme peradaban, budaya, dan agama yang ada.
Bagaimana bisa dikembangkan kehidupan penuh respek antara satu dengan yang lain sehingga keberagaman benar-benar menjadi berkah bagi semua orang, bukan sebagai petaka bagi kehidupan.
Proses globalisasi, pluralisme, dan dominasi bentuk peradaban, budaya, dan agama selayaknya ditanggapi dengan memberi kesempatan untuk hidup bagi kelompok-kelompok kecil dan lemah. Proses demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan fair antarkomponen pluralisme.
Clash peradaban yang ditulis Samuel Huntington, memang dilukis dalam hubungan yang tak seimbang antara Barat dan non-Barat, khususnya Islam. Yang mengerikan adalah apabila clash tersebut justru melemahkan dan memusnahkan kepercayaan akan perlunya komunikasi dan dialog yang dijalankan.
Dialog tidak lain adalah usaha untuk menghalangi tindakan dengan alasan apa pun untuk melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk membunuh satu sama lain. Analogi astronomi Ptolomeus yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme), selayaknya digantikan dengan astronomi Copernicus yang menyatakan bahwa bumi hanya menjadi satu bagian kecil daripada alam semesta yang sangat besar (heliosentrisme).
Dengan kata lain, pada masa sekarang ini tidak ada peradaban, budaya, dan agama yang bisa mengklaim dirinya selaku pusat tunggal bagi kenyataan peradaban, budaya, dan agama lain yang bercorak plural.
Persoalannya justru bagaimana secara dewasa kita bisa hidup dalam keberagaman itu dengan menerima dan mengakui pusat-pusat kehidupan yang berbeda. Itulah salah satu dimensi yang perlu dikembangkan agar dua kubu peradaban itu tidak terjatuh dalam kubangan konfrontasi yang mematikan bentuk-bentuk pengabsolutan "klaim kebenaran" (truth claim).
Naskah cuplikan artikel karya Achmad Fauzi, yang tayang di Harian Republika, 2011