REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Arif Satrio Nugroho
Keberangkatan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ke Amerika Serikat menuai kontroversi. Pegiat HAM mempertanyakan alasan Negara Pam Sam menerbitkan visa masuk bagi Prabowo.
Akibatnya, sejumlah pegiat hak asasi manusia (HAM) menyurati Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS), Michael R Pompeo, terkait keputusan pemerintah AS mencabut larangan masuk terhadap Prabowo Subianto. Keputusan itu dinilai dapat melanggar hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi HAM di Indonesia.
"Dengan membebaskan dia berpergian ke AS untuk menemui pejabat senior AS bisa melanggar Hukum Leahy dan akan menjadi bencana bagi HAM di Indonesia," ujar salah satu perwakilan dari para pegiat HAM yang juga sebagai Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, dalam surat tersebut, Kamis (15/10).
Dia menjelaskan, para pegiat HAM menulis surat tersebut untuk menyampaikan kekhawatiran terhadap keputusan Departemen Luar Negeri AS yang memberikan visa kepada Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), untuk datang ke Washington DC menemui Menhan AS, Mark Esper, dan Ketua Kepala Gabungan Staf AS Mark Milley.
Hukum Leahy ditulis oleh Senator Patrick Leahy pada 1997. Aturan tersebut melarang bantuan militer AS kepada pasukan keamanan negara asing yang melakukan pelanggaran berat HAM dengan impunitas. Pada 2005, AS telah mencabut larangan kerja sama dengan militer Indonesia, kecuali Kopassus.
Barulah pada 2010, AS mengumumkan bakal kembali melanjutkan kerja sama militer dengan Kopassus tahap demi tahap, menyusul reformasi dalam unit tersebut. Organisasi HAM internasional telah menuding Kopassus terlibat dalam serangkaian pelanggaran hak asasi manusia pada akhir 1990-an, yakni saat reformasi 1998 dan referendum Timor Timur pada 1999.
Kembali ke keberangkatan Prabowo ke Amerika, Fatia menjelaskan, Prabowo merupakan mantan menantu mendiang Presiden Soeharto, pemimpin berlatar belakang militer yang memerintah di Indonesia selama 31 tahun dari 1967 sampai 1998. Prabowo bertugas sebagai komandan pasukan khusus di bawah Soeharto dan terlibat dalam kejahatan terhadap HAM, termasuk penculikan aktivis pro-demokrasi selama beberapa bulan menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto.
Dia mengatakan, penyelidikan independen resmi yang diberikan mandat untuk menyelidiki pelanggaran serius terhadap HAM di tahun 1998 menyimpulkan, Prabowo sebagai komandan pasukan khusus sadar akan pelanggaran tersebut. Ia bertanggung jawab secara penuh atas penculikan aktivis pro-demokrasi di tahun 1997-1998. Tuduhan terhadap Prabowo Subianto tidak pernah diadili di pengadilan.
"Keputusan Pemerintah AS di tahun 2000 yang memasukkan Prabowo ke daftar hitam karena pelanggaran HAM merepresentasikan komitmen yang sangat penting terhadap HAM. Kebijakan Pemerintah AS selama 20 tahun terakhir telah membawa harapan dan pertolongan bagi korban yang mengalami penyiksaan dan perlakuan buruk lain di bawah satuan yang dipimpin Prabowo," jelas dia.
Karena itu, para aktivis HAM ini meminta agar undangan untuk Prabowo harus dibatalkan jika keputusan itu memberikan kekebalan terhadap kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Jika dia memang berniat datang ke AS, maka berdasarkan Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 5 Ayat 2 pemerintah AS memiliki kewajiban untuk menyelidikinya.
Dan jika memang mendapatkan bukti yang cukup bahwa Prabowo bertanggung jawab atas kejahatan penyiksaan tersebut, maka pemerintah AS harus membawanya ke pengadilan atau mengekstradisinya ke negara lain yang bersedia menggunakan yurisdiksi terhadap tuduhan kejahatannya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menerangkan, di bawah Hukum Leahy, Pemerintah AS dilarang menggunakan dana untuk membantu pasukan keamanan negara lain di mana terdapat informasi terpercaya yang mengimplikasikan pasukan keamanan tersebut melakukan pelanggaran berat HAM. Itu termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan pemerkosaan berdasarkan peraturan yang melanggar hukum.
"Dalam Hukum Leahy Departemen Luar Negeri AS terdapat pengecualian yang mengijinkan bantuan ke sebuah unit jika Menteri Pertahanan memutuskan dan melaporkan kepada Kongres bahwa negara dari unit pasukan keamanan tersebut mengambil langkah yang efektif untuk membawa anggota yang bertanggung jawab ke depan hukum," kata dia.
Terkait dengan Indonesia, selama dua dekade terakhir pemerintah AS memberlakukan pelarangan bantuan militer terhadap militer Indonesia dan pasukan khusus Kopassus. Itu dilakukan setelah mereka melakukan pelanggaran HAM berat dalam operasi militer di Timor Timur. Prajurit Kopassus juga terlibat dalam penghilangan paksa (1997-1998) dan pembunuhan aktivis Papua, serta pemimpinnya Theys Eluay di tahun 2001.
"Meski pada akhirnya beberapa tentara dihukum di pengadilan militer, pemimpin mereka belum pernah diadili. Penyintas pelanggaran serius, yang dilakukan oleh Prabowo, sudah menunggu lebih dari 20 tahun untuk mendapatkan keadilan, akuntabilitas, dan reparasi," jelas dia.
Secara singkat, kata dia, selama dua dekade terakhir pemerintah Indonesia belum mengambil langkah efektif untuk membawa Prabowo ke depan hukum. Dia belum pernah bertanggung jawab, dan sampai hari ini masih terus menyangkal tuduhan pelanggaran HAM. Sehingga, situasi itu tidak memenuhi persyaratan pengecualian Hukum Leahy.
Atas dasar itu, para aktivis HAM ini mendesak Menlu AS untuk mengklarifikasi, visa yang diberikan kepada Prabowo Subianto tidak memberikan kekebalan dalam bentuk apa pun. Menlu AS juga diminta untuk memastikan jika Prabowo datang ke AS, dia akan secepatnya diperiksa dengan benar, dan jika buktinya mencukupi, membawanya ke pengadilan meminta pertanggungjawaban atas kejahatan di bawah hukum internasional.
"Jika visa yang diberikan kepada Prabowo Subianto memberikan kekebalan selama di AS, visa tersebut harus dicabut untuk memastikan bahwa AS memenuhi kewajiban domestik dan internasional untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab atas penyiksaan akan dibawa ke depan hukum," kata dia.
Selain Fatia dan Usman, surat ini juga ditandatangani oleh Direktur Public Virtue Ahmad Taufiq, Public Interest Lawyer Network Erwin Natosmal, Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita, Direktur Imparsial Al Araf, dan Sekjen Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti.
Prabowo sudah dilarang memasuki Amerika selama dua dekade. Di bawah kepimpinan Presiden Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama, Sang Jenderal tidak bisa masuk ke Amerika. Bahkan termasuk untuk menghadiri wisuda putra tunggalnya, Didit Hediprasetyo, yang menimba ilmu di Negara Paman Sam.
Dikutip dari New York Times, kedatangan Prabowo ke Amerika dinilai sebagai bentuk pentingnya hubungan kedua negara. Terutama bagi Amerika, yang mencari sekutu dengan China.
"Amerika adalah negara penting," kata Prabowo sebelum bertolak ke Amerika, dikutip dari New York Times, Kamis (15/10). "Saya diundang. Saya harus memenuhi undangan itu."
Juru Bicara Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Prabowo ke Amerika mulai 15 Oktober hingga 19 Oktober. Dahnil menerangkan, undangan itu diberikan untuk melanjutkan pembicaraan detail terkait kerja sama bilateral di bidang pertahanan.
Selama ini, menurut dia, Prabowo melakukan diplomasi aktif melakukan diplomasi pertahanan ke berbagai negara, termasuk AS. Diplomasi dilakukan sesuai prinsip politik bebas aktif dan tidak terlibat aliansi militer dengan negara mana pun dan menjaga kedekatan yang sama dengan semua negara.
Dia menerangkan, Prabowo Subianto sebagai Menhan berkomitmen untuk terus memaksimalkan diplomasi pertahanan dengan banyak negara. Itu termasuk terhadap negara Amerika Serikat, Rusia, China, negara-negara Eropa maupun negara-negara di kawasan.
Anggota Komisi I (Pertahanan) DPR RI Syaifullah Tamliha mengatakan, rencana kunjungan Menteri Prabowo ke Amerika Serikat merupakan kunjungan resmi kenegaraan atas undangan Menteri Pertahanan AS. "Kehadiran Menhan RI ke AS sangat dibutuhkan oleh kedua negara, terutama untuk kerja sama di bidang alutsista," kata Syaifullah melalui pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Kamis (15/10).
Syaifullah menyayangkan adanya penolakan lembaga pegiat ham atas kunjungan Menteri Prabowo ke AS. Ia menilai, tidak pada tempatnya sejumlah pegiat HAM di Amerika untuk menolak Menhan RI. Sebab, kata dia, jika terjadi deal kerjasama bidang alutsista, maka senjata tersebut tidak akan digunakan militer Indonesia untuk pelanggaran HAM.
Ia mengingatkan, AS sebagai salah satu produsen alutsista sedang membutuhkan Indonesia. Sebab, selama ini kita membeli alutsista dari negara kawasan Eropa dan Rusia.
"Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif membutuhkan keseimbangan pembelian dan investasi alutsista dengan AS," kata dia.
Syaifullah juga menambahkan, Undang-Undang TNI yang ada sekarang lebih menjadikan TNI hanya berkutat di bidang pertahanan, sementara tugas keamanan ABRI di zaman orde baru telah diberikan kepada Kepolisian. Ia meyakini AS membutuhkan Indonesia dalam kerjasama Indo-Pasifik, terutama mengantisipasi manuver Tiongkok di Laut China Selatan.
"Indonesia memiliki daya tawar yg tinggi dalam konflik di Laut China Selatan, sebab negara sekutu AS Amerika, yakni Filipina dan Australia bisa terancam," ujarnya menambahkan.