Kamis 15 Oct 2020 14:03 WIB

Ribuan Warga Palestina Ditahan Israel, Bertahan Hidup?

Ribuan warga Palestina ditahan Israel dan sebagiannya mogok makan.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Ribuan warga Palestina ditahan Israel dan sebagiannya mogok makan. Salah seorang tahanan Palestina di penjara Israel (ilustrasi).
Foto: Presstv.ir/ca
Ribuan warga Palestina ditahan Israel dan sebagiannya mogok makan. Salah seorang tahanan Palestina di penjara Israel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Para tahanan Palestina di Penjara Israel banyak mengalami penyiksaan. Mereka berjuang untuk bisa mendapatkan kebebasan. Namun mereka seharusnya tidak berjuang sendirian.

"Maher al-Akhras (tahanan Palestina), dan ribuan orang seperti dia, hendaknya tidak mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendapatkan hak asasi manusia, yang secara teori harus dijamin oleh hukum internasional. Tak kalah pentingnya, para tahanan Palestina tidak boleh dibiarkan sendiri, membayar sebuah harga karena berani membela keadilan, kelayakan, dan kebebasan rakyat mereka", kata seorang jurnalis dan Editor The Palestine Chronicle, Ramzy Baroud dilansir dari laman Milligazette, pada Kamis (15/10).

Baca Juga

Selama beberapa tahun terakhir, Baroud telah mendengar berkali-kali dari tahanan Palestina yang dibebaskan dan keluarganya, bahwa tidak ada yang peduli dengan para tahanan. Setiap kali dia melakukan wawancara tentang topik yang sensitif ini, dia diberitahu berulang kali, bahwa tidak ada yang peduli.

"Subjek, dan klaim, muncul kembali setiap kali seorang tahanan Palestina melakukan mogok makan atau mengalami kesusahan dan penyiksaan yang ekstrem, yang bocor di luar penjara Israel melalui pengacara atau organisasi hak asasi manusia. Tahun ini, lima tahanan Palestina meninggal di penjara karena dugaan kelalaian medis, atau lebih buruk lagi, penyiksaan," ucap Baroud.

Dia mengungkapkan, bahkan pekerja bantuan kemanusiaan internasional, seperti Mohammed el-Halabi, tidak kebal terhadap perlakuan ini. Dia ditangkap pada Agustus 2016, el-Halabi belum dituntut atas kesalahan apa pun.

Berita tentang penderitaannya, awalnya mendapat perhatian media, karena pekerjaannya dengan organisasi yang berbasis di  Amerika Serikat (AS). Dan sekarang hanya terbatas pada postingan Facebook oleh ayahnya, Khalil.

Pada 1 Oktober, el-Halabi telah diarak di hadapan 151 uji coba militer, namun tidak jelas apa tuduhannya. Pria Palestina ini telah memainkan peran utama dalam memberikan obat kanker kepada anak-anak yang sekarat di Gaza. Namun sekarang memegang rekor uji coba militer terlama yang dilakukan Zionis Israel.

photo
Penjara Israel (ilustrasi) - (EPA/Oliver Weiken )

"Putus asa untuk beberapa perhatian, dan muak dengan klise tentang sentralitas dalam perjuangan Palestina, banyak tahanan, baik secara individu atau kolektif, melancarkan mogok makan dengan slogan kebebasan atau kematian. Mereka yang ditahan di bawah kebijakan penahanan administratif yang kejam dan ilegal, menuntut kebebasannya, sedangkan narapidana keamanan, yang ditahan dalam kondisi yang merendahkan, hanya meminta kunjungan keluarga atau makanan yang layak untuk dikonsumsi manusia," papar Baroud.

Baroud mengungkapkan, komplikasi kesehatan akibat mogok makan seringkali terjadi dalam waktu lama. Dia telah mewawancarai keluarga-keluarga Palestina yang dibebaskan dari penjara Israel. 

Namun pada kenyataannya mereka hanya keluar untuk meninggal dalam hitungan bulan, atau menjalani hidup dengan rasa sakit yang tiada akhir, dan penyakit selama bertahun-tahun.

Menurut beberapa perkiraan, lebih dari 800 ribu warga Palestina telah dipenjara di penjara Israel sejak pendudukan Israel di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza pada Juni 1967.

Di samping itu, Maher al-Akhras saat ini sedang menulis bab terbaru dalam narasi tragis ini. Saat menulis artikel ini, dia baru saja menyelesaikan 77 hari mogok makan tanpa henti.

"Tidak ada pendapat medis yang diperlukan untuk memberi tahu kita bahwa al-Akhras bisa mati kapan saja. Sebuah video baru-baru ini yang dirilis al-Akhras di ranjang rumah sakit Israel menunjukkan sekilas penderitaan tak tertahankan pria itu," ucapnya.

"Dengan suara yang nyaris tak terdengar, pria kurus dan tampak lelah itu mengatakan bahwa dia hanya memiliki dua pilihan, baik kebebasan langsung atau kematian dalam batas-batas sistem peradilan palsu Israel," lanjut Baroud.

Pada 7 Oktober, istrinya, Taghrid, melakukan aksi mogok makan untuk memprotes fakta bahwa tidak ada yang peduli dengan suaminya. Sekali lagi, kurangnya perhatian terhadap penderitaan para narapidana, bahkan yang sekarat, mempengaruhi wacana politik Palestina.

Baroud mengatakan, gagasan bahwa tahanan Palestina sendirian dalam perjuangan kemerdekaan dimulai pada awal 1990-an. Selama periode inilah berbagai Kesepakatan Oslo ditandatangani, membagi Wilayah Pendudukan menjadi zona-zona yang diatur oleh beberapa sistem militer yang tidak mengakhiri pendudukan Israel, melainkan terus memperkuatnya.

"Yang paling banyak dikeluarkan dari agenda negosiasi Israel-Palestina pada saat itu adalah beberapa masalah mendesak yang mendasar bagi hak dan kebebasan Palestina. Salah satu masalah ini adalah sistem penahanan dan pemenjaraan brutal Israel tanpa pengadilan," kata dia.

Beberapa tahanan Palestina terkadang dibebaskan dalam kelompok kecil. Akan tetapi sistem itu sendiri, yang memberi Israel hak untuk menangkap, menahan, dan menghukum warga Palestina masih tetap utuh.

Sumber: https://www.milligazette.com/news/8-international/33706-dying-alone-when-we-stopped-caring-palestinian-prisoners/

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement