REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah di Indonesia, termasuk Malang Raya. Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah tak kunjung membatalkan jadwal Pilkada 2020.
Divisi Riset, Malang Corruption Watch (MCW), Diniyah mengingatkan pemerintah, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Hal ini sesuai dengan salah satu asas penting dalam konstitusi negara, “solus populi suprema lex”.
Dini tak menampik, terdapat beberapa daerah yang sudah berstatus zona kuning. Namun, kondisi tersebut syarat dengan risiko sehingga sepatutnya menjadi pertimbangan bagi negera untuk menunda Pilkada. "Sebagai wujud memperjuangkan asas konstitusional rakyat dan mewujudkan Pilkada yang substansial," kata Dini saat dikonfirmasi Republika, Kamis (15/10).
Selain itu, ancaman Covid-19 sebenarnya bukan hanya menyasar pada rakyat pemilih. Para penyelenggara juga menjadi kelompok yang rentan terpapar virus dari Wuhan, Cina tersebut. Terbukti, pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilaporkan tertular Covid-19, beberapa waktu lalu.
Ada pula 60 calon kepala daerah terpapar Covid-19 pada September lalu. KPU juga menyatakan, terdapat tiga calon kepala daerah yang meninggal karena Covid-19. Lalu ada puluhan penyelenggara Pilkada (Kabupaten Agam, Kabupaten Boyolali) yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Menurut Dini, fenomena tersebut telah memperlihatkan penyelenggaraan Pilkada tidak hanya mengacam rakyat "Tapi juga melahirkan kluster baru yang justru memperburuk kondisi krisis pandemi di Indonesia," ucapnya.
MCW juga menemukan potensi penyalahgunaan dan pemanfaatkan anggaran penanganan Covid-19 untuk kepentingan elektoral Pilkada para calon kepala daerah. Situasi ini menjadi sulit dihindari karena keterbatasan kontrol publik.
Terlebih, MCW menemukan adanya pemanfaatan program bantuan sosial untuk kepentingan kampanye. "Ini dilakukan bersamaan dengan pendistribusian bantuan yang dilabeli foto salah satu paslon," ungkap Dini.
Dini menilai, fenomena tersebut telah mencederai nilai demokrasi di Indonesia. Bahkan, cacat moral karena telah memanfaatkan keadaan pandemi untuk mencari sumber daya publik demi kepentingan politik Pilkada. Terlebih, jika terdapat petahana yang mencalonkan diri kembali pada pemilu.
Dana bantuan sosial menjadi salah satu sumber daya publik yang rentan disalahgunakan. Di banyak kasus korupsi dana bantuan sosial, mark-up dan mark-down menjadi modus umum yang sering terjadi. Potensi ini juga telah disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan adanya temuan tersebut, MCW meminta pemerintah segera menunda pelaksanaan Pilkada sesuai dengan amanat Pasal 201 A ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 2020. Selain mempertimbangkan jumlah kasus yang kian melonjak, menunda Pilkada demi efektifitas penyelenggaraan Pilkada yang demokratis. Pilkada yang partisipatif dan fair serta bebas risiko menjadi hal penting untuk mendorong proses pendewasaan demokrasi.