REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komnas HAM RI menilai potret lamanya deret tunggu terpidana mati menjadi persoalan yang penting untuk dicari jalan keluarnya. Menurut data Kemenkumham, saat ini ada 538 terpidana mati menunggu waktu eksekusi mati di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI, Choirul Anam menilai, ada baiknya Presiden Joko Widodo mempertimbangkan skema komutasi untuk para terpidana mati. Sehingga, mereka yang sudah menjalani masa pidana dan berkelakuan baik, bisa dilakukan peninjauan kembali atas hukumannya .
Berdasarkan riset yang dilakukan Komnas HAM dengan ICJR dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Kemenkumham RI, didapatkan data tipologi masa tunggu terpidana mati yang bervariasi antara 5 sampai dengan 20 tahun. Melihat data tersebut, Komnas HAM melihat angka 5 tahun menjadi waktu yang tepat sebagai masa tunggu terpidana mati.
“Setelah melakukan riset di lapangan juga saran dari Ditjen PAS, untuk masa tunggu memang paling pas selama 5 tahun. Angka 5 tahun ini berasal dari pertimbangan proses dan skema pembinaan. Orang ketika dibina dengan skema Ditjen PAS, bisa dipastikan selama 5 tahun apakah orang tersebut berubah secara substansial, pura-pura berubah atau tidak ada perubahan,” ujar Anam dalam keterangannya, Rabu (14/10).
Menurut Anam, skema deret tunggu terpidana mati sangatlah penting sebagai peta kebijakan kenegaraan, bagaimana dalam memperlakukan hukuman mati. Diketahui, grasi diatur pada konstitusi dan merupakan wajah politik konstitusional Presiden.
Namun, pasca-amandemen, harus mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA). Anam berharap, deret tunggu juga bisa dijadikan salah satu pertimbangan utama Presiden soal sisi-sisi kemanusiaan apabila ada yang mengajukan grasi.
Karena, sisi kemanusiaan tidak hanya bisa dilihat dari kondisi kesehatan terpidana mati tersebut bila mengidap sakit berat. Namun, juga bisa dilihat dari seberapa lama terpidana menunggu eksekusi.
Anam menambahkan, politik hukuman mati di Indonesia mengalami pasang surut. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY), pernah ada politik moratorium sebagai salah satu diplomasi internasional terkait hak asasi manusia.
Banyak yang mengapresiasi politik tersebut, yang diwujudkan dengan tidak melakukan eksekusi. Walaupun untuk proses hukumnya mulai dari kepolisian sampai hakim masih terjadi, akan tetapi angkanya turun.
Politik moratorium pada masa itu tidak dinyatakan terbuka di dalam negeri. Namun di pergaulan internasional dinyatakan sehingga mendapat apresiasi cukup besar.
Ada juga skema moratorium yang dilakukan secara tertutup pada era Presiden Jokowi. Akan tetapi, ketika mengambil politik moratorium beberapa Presiden memang tidak ada yang konsisten. Hal ini menjadi pasang surut dan tidak ajeg karena latar belakang kenapa orang dihukum masih menjadi perhatian penting.
”Misalnya masyarakat masih bilang, kalau korupsi ya dihukum mati saja atau teroris ya dihukum mati saja. Sehingga ketika isu itu naik, pengambil kebijakan tidak hanya mengambil aspek-aspek ideall dalam hak asasi manusia tapi juga mempertimbangkan dinamika politik yang ada di masyarakat,” tutur Anam.
Sehingga, konsistensi menjadi hal yang sangat penting dalam persoalan ini. Permasalahan hukuman mati, sambungnya, merupakan salah satu hal yang mendapatkan respon sangat dinamis dari masyarakat.
Bahkan, secara politik pun juga sangat dinamis. Meski begitu, pada tren internasional hal ini sebenarnya lebih konsisten walaupun di beberapa negara juga mengalami hal yang sama. Tren internasional yaitu untuk penghapusan hukuman mati atau minimal politik moratorium.
“Salah satu jalan menuju ke sana adalah perubahan penghukuman. Langkah positif telah dilakukan oleh tim yang merumuskan RKUHP, di mana pada drafnya sudah membuka peluang untuk hal tersebut, (meninjau ulang pemidanaan untuk para terpidana mati),” ujar Anam.
Menurut catatan Imparsial, dalam 5 tahun pertama Pemerintahan Joko Widodo hingga September 2019, Pengadilan telah memvonis 234 orang dengan hukuman mati. Angka ini, melampaui total 197 vonis mati selama 16 tahun pemerintahan BJ Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Peredaran narkoba, menjadi sumber utama vonis mati. Selama 2019, peredaran narkoba meningkat dengan jumlah pengguna mencapai 3,6 juta orang. Total penghuni Lapas pun terus naik mencapai 224.682 orang melebihi kapasitas yang hanya 133.454 orang.