REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Syafruddin menerima anugerah gelar doktor honoris causa atau kehormatan dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung di Gedung Anwar Musaddad kampus tersebut pada Kamis (15/10). Dia menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Transformasi Paradigma Hubungan Internasional Islam Menuju Tatanan Masyarakat Dunia yang Damai.
Syafruddin mengawali orasi ilmiah dengan mengutip Surah Al-Hujuraat Ayat 13. Dia mengatakan, ayat ini menjadi landasan pemikiran bahwa semua umat manusia terlepas perbedaan suku, bangsa dan agama, sejatinya adalah satu.
"Gagasan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan seluruh umat manusia akan terciptanya tatanan global untuk hidup berdampingan secara damai, diperlukan upaya terobosan transformasi paradigma hubungan internasional yang mapan, menyeluruh, dan berdasarkan pada nilai-nilai agama, dalam hal ini Al-Islam," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Syafruddin menyampaikan, fase baru peradaban manusia terjadi di jazirah Arab, yang diawali dengan kenabian Muhammad SAW. Ajaran Rasulullah SAW telah membawa perubahan besar di berbagai bidang kehidupan, seperti pada bidang hukum, tata sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, pertahanan dan keamanan.
Dalam satu abad, lanjut Syafruddin, peradaban Islam bangkit membentangkan sayap bukan hanya di jazirah Arab melainkan juga ke Benua Eropa, Asia dan Afrika. Ini meneguhkan kekuatan Islam di dunia internasional yang kemudian melahirkan imperium peradaban Islam hingga abad ke-16 M, yakni masa kejayaan Kerajaan Ottoman.
"Setelah Dinasti Utsmani pada 1924 M, abad ke-20, masuklah era baru pola pemerintahan Islam yang ditandai terbentuknya lebih dari 50 negara Islam di dunia. Secara global, umat Islam terbesar tidak hanya di negara Islam tetapi juga di negara lain yang terus bertumbuh secara progresif," ujarnya.
Karena itu, Syafruddin memandang, sejarah peradaban manusia paralel dengan sejarah peradaban Islam. Jatuh bangunnya kehidupan Islam paralel dengan jatuh-bangunnya kehidupan peradaban manusia itu sendiri. "Fleksibilitas dan universitalitas Islam perlu mengejawantahkan konsep dan terminologi Islam yang rahmatan lil 'alamin untuk berjuang menghapus penindasan, kezaliman, dan penjajahan di atas muka bumi hingga membuka perdamaian dunia yang abadi," paparnya.
Dalam kesempatan itu, Syafruddin menyinggung soal upayanya bersama Wapres ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla untuk mendamaikan konflik Afghanistan pada 2018 lalu. Dia mengakui betapa sulitnya melakukan upaya perdamaian di tengah banyaknya faksi yang bertikai di Afghanistan. Bahkan Taliban memiliki tiga faksi di sana. Belum lagi pemerintah dan faksi lain.
"Tetapi Alhamdulillah bisa duduk bersama, dan tahun ini sudah disepakati perdamaian tingkat pertama di Afghanistan. Kebanggaan bagi kita, karena yang memprakarsai dan mengkonsep adalah Pak Jusuf Kalla dan operator lapangannya Pak Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM 2004-2009). Saya cadangannya," jelas dia.
Syafruddin pun mengulas kembali soal citra buruk yang melekat pada Islam sejak terjadi peristiwa 11 September 2001. Citra yang timbul adalah Islam yang intoleran, radikal, dan penuh permusuhan. Usai peristiwa itu, terjadi perang terhadap terorisme melawan Al-Qaeda hingga konfrontasi terhadap ISIS dan kelompok berlabel Islam fundamentalis lain yang seolah ingin menjustifikasi bahwa Islam agama yang anti-kedamaian.
"Tetapi umat Islam di seluruh dunia berhasil memberi respons yang bermartabat dan bermanfaat dalam merepresentasikan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Ekspos terhadap Islam yang mendapat sentimen negatif terbantahkan dengan sendirinya karena bertumbuhnya umat Islam di Benua Amerika dan Eropa. Aktualisasi nilai- nilai Islam telah menarik minat banyak manusia mengenal dan mengagumi keluhuran Islam sebagai tatanan kehidupan," katanya.
Dengan demikian, Syafruddin berpandangan, umat Islam perlu terus membangun jembatan dialog dengan dunia Barat, dengan rasa saling pengertian dan saling menghormati. Kalau pun ada konfrontasi yang dipersepsikan sebagai konflik agama, sebetulnya itu adalah masalah keadilan, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. "Sejatinya berakar pada masalah keadilan. Karena itu, bersikap adil dan mampu menjadi fasilitator keadilan itu sangat penting dalam mewujudkan kedamaian dunia," ungkapnya.
Agenda penganugerahan gelar doktor kehormatan kepada Syafruddin dihadiri banyak pejabat baik di dalam maupun luar negeri. Di antaranya, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, Ketua MPR Bambang Soesatyo, beberapa Wakil Ketua MPR dan DPR, Grand Syekh Al-Azhar dan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Dubes dari beberapa negara sahabat, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Hukum dan HAM 2004-2009 Hamid Awaludin dan beberapa tokoh nasional lainnya.