REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Badan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengecam keras langkah Kepolisian RI (Polri) yang mengancam mempersulit penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi siswa yang mengikuti aksi unjuk rasa penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Menurutnya ancaman tersebut bentuk kesewenang-wenangan aparat dan pejabat publik serta merupakan pelanggaran hak warga. Ancaman ini juga bentuk penghalangan hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
"Langkah ini semakin menguatkan dugaan Kepolisian tidak independen dalam merespons aksi unjuk rasa masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja pasca terbitnya telegram Polri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020," kata Arif dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Kamis (15/10).
LBH Jakarta mengingatkan Polri untuk tidak jadi alat represi pemerintah untuk menghalang-halangi aksi unjuk rasa warga yang menolak UU Cipta Kerja. Arif menyayangkan jika hukum dan aparat penegak hukum bekerja bukan berdasarkan aturan hukum tetapi berdasarkan kemauan penguasa. "Hukum hanya akan menjadi alat menindas rakyat bukan untuk melindungi rakyat," ujarnya.
Arif menjelaskan kegiatan unjuk rasa ataupun demonstrasi dalam berbagai bentuk, termasuk menolak UU Cipta Kerja, merupakan kegiatan mengemukakan pendapat dan ekspresi di muka umum yang dilindungi dan dijamin oleh negara berdasarkan Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Menurutnya segala bentuk upaya penghalang-halangan kegiatan mengemukakan berpendapat di muka umum, berekspresi, maupun demonstrasi yang dilakukan oleh aparat negara dan Pemerintah, merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum, bersifat maladministratif dan diskriminatif, serta melanggar hak asasi manusia dan hak anak.
"Semestinya baik aparatur Pemerintah Negara maupun aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI terikat pada aturan hukum yang ada, dan khususnya ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimana penyelenggaraan pemerintahan harus mendasarkan diri pada prinsip kepastian hukum, perlindungan HAM, asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta bersifat non-diskriminatif dan imparsial," jelasnya.
Sebelumnya Kepolisian Resor (Polres) Metro Tangerang Kota memastikan para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi di wilayah Kota Tangerang, Banten akan tercatat dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Hal itu ditegaskan oleh Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Sugeng Hariyanto. "Mereka masuk dalam database polisi dan menjadi catatan tersendiri saat mengurus SKCK," kata Sugeng di Mapolres Metro Tangerang Kota, Rabu (14/10).
Sugeng menjelaskan, catatan tersebut bisa memberi pengaruh bagi mereka ke depannya. Misalnya dalam mencari pekerjaan akan ada catatan dari pihak kepolisian yang bisa menjadi pertimbangan perusahaan yang dituju.