REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Pemerintah Indonesia melalui KJRI Davao berupaya memastikan identitas dan kewarganegaraan seorang perempuan diduga WNI yang ditangkap otoritas Filipina atas tuduhan merencanakan serangan bom bunuh diri. Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan bahwa KJRI Davao telah mengirimkan dua surat kepada otoritas Filipina mengenai permintaan data dan akses kekonsuleran untuk bertemu dengan perempuan berinisial RFR itu.
“KJRI Davao masih menunggu diberikannya data dan akses kekonsuleran tersebut,” kata Judha melalui pesan singkat, Kamis.
Menurut Judha, data dan akses bertemu RFR sangat diperlukan untuk memverifikasi identitas dan kewarganegaraan, mengingat perempuan itu tidak mengaku sebagai WNI ketika menjalani proses interogasi oleh aparat Filipina.
Berdasarkan laporan sejumlah media asing, perempuan bernama Nana Isirani atau dikenal sebagai Rezky Fantasya Rullie alias Cici itu ditangkap di sebuah rumah di Jolo, Sulu, di mana pasukan pemerintah Filipina menemukan rompi bunuh diri dan komponen bom.
Militer Filipina mengatakan bahwa Rullie, yang sedang hamil, telah mengajukan diri untuk melakukan serangan bunuh diri setelah ia melahirkan untuk membalas dendam atas kematian suaminya, Andi Basro. Andi merupakan seorang militan asal Indonesia yang dilaporkan tewas dalam bentrokan dengan pasukan Filipina pada 29 Agustus lalu di Kota Patikul, Sulu.
Rullie ditangkap pekan lalu bersama dua perempuan lain yang diyakini sebagai istri anggota Kelompok Abu Sayyaf (ASG). Menteri Kehakiman Filipina Menardo Guevarra mengatakan kasus Rullie akan menjadi subjek untuk menguji undang-undang antiteror yang baru ditandatangani di negara itu.
"Ini adalah kasus besar pertama, saya pikir, di mana orang-orang tertentu yang dicurigai sebagai teroris asing dituduh melanggar undang-undang antiterorisme baru kami," kata Guevarra kepada Arab News.
Guevarra juga mendukung pernyataan Senator Panfilo Lacson bahwa penangkapan Rullie akan menjadi kasus uji coba yang baik bagi UU antiteror, terutama ketentuannya untuk menghukum "pelanggaran inchoate” atau yang masih dalam tahap permulaan.
Lacson, mantan kepala Kepolisian Nasional Filipina (PNP) yang menjadi anggota parlemen Filipina, mengatakan bahwa bom dan barang-barang lain yang disita dari Rullie mengindikasikan bahwa dia sedang mempersiapkan serangan teroris.
“Ini adalah salah satu contoh pelanggaran inchoate yang dapat dihukum di bawah undang-undang antiterorisme yang baru. Dengan memasukkan pelanggaran inchoate, kami mengkriminalisasi tindakan para tersangka yang ditangkap sebelumnya yang meliputi perencanaan, persiapan, dan fasilitasi terorisme,” ujar Lacson.