REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia naik lagi. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Agustus 2020 tercatat sebesar 413,4 miliar dolar AS.
Ini berarti utang luar negeri Indonesia tumbuh 5,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy/tahun ke tahun).
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan ULN ini terdiri dari utang sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,0 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 210,4 miliar dolar AS.
"Kenaikan utang luar negeri ini disebabkan oleh transaksi penarikan neto utang, baik ULN pemerintah maupun swasta," kata Onny dalam penjelasan pers Bank Indonesia, Rabu (14 Oktober).
Selain itu, kenaikan utang luar negeri juga terjadi karena adanya penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi rupiah.
Onny menjelaskan, sebagian besar penarikan ULN swasta pada Agustus 2020 digunakan untuk membiayai kegiatan investasi perusahaan.
Beberapa sektor dengan pangsa ULN terbesar, yakni mencapai 77,5% dari total ULN swasta, adalah sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin (LGA), sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan.
Untuk ULN pemerintah pada akhir Agustus 2020 tercatat sebesar 200,1 miliar dolar AS atau tumbuh 3,4% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan Juli 2020 sebesar 2,3% (yoy).
Menurut Onny, perkembangan ini terutama didorong oleh penarikan sebagian komitmen pinjaman dari lembaga multilateral yang memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
ULN Pemerintah dikelola secara terukur dan berhati-hati untuk mendukung belanja prioritas pemerintah, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23,7% dari total ULN pemerintah), sektor konstruksi (16,5%), dan sektor jasa pendidikan (16,5%).
Juga, sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,8%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (11,6%).