Jumat 16 Oct 2020 12:16 WIB

Lese Majeste, Hukum Thailand yang Lindungi Monarki

Kritikus menyebut Lese Majeste digunakan untuk menekan kebebasan berbicara

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
 Para pemimpin mahasiswa pro-demokrasi memberikan hormat tiga jari, simbol perlawanan, selama protes di Bangkok, Thailand, Minggu, 20 September 2020. Unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa yang dimulai Sabtu adalah yang terbesar dalam serangkaian protes tahun ini, dengan ribuan orang berkemah semalam di dekat istana kerajaan, menuntut pemilihan baru dan reformasi monarki.
Foto: AP/Wason Wanichakorn
Para pemimpin mahasiswa pro-demokrasi memberikan hormat tiga jari, simbol perlawanan, selama protes di Bangkok, Thailand, Minggu, 20 September 2020. Unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa yang dimulai Sabtu adalah yang terbesar dalam serangkaian protes tahun ini, dengan ribuan orang berkemah semalam di dekat istana kerajaan, menuntut pemilihan baru dan reformasi monarki.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Pemerintah Thailand telah memberlakukan keadaan darurat menyusul pengakhiran tiga bulan protes pada Kamis (15/10). Aksi unjuk rasa yang dimotori mahasiswa menyerukan reformasi monarki kerajaan dan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth chan-ocha.

Mereka juga banyak yang menuntut Raja Thailand Maha Vijaralonkorn. Dalam iring-iringan mobil kerajaan kemarin, para pengunjuk rasa meneriaki Raja untuk membabaskan dua orang pemimpin protes yang ditangkap.

Baca Juga

Padahal, aksi mereka itu bisa berujung ke penjara jika berdasarkan hukum Lese Majeste. Dilansir laman BBC, hukum Lese Majeste Thailand melarang penghinaan terhadap monarki. Hukum ini pun dibilang hukuman yang paling ketat di dunia.

Hukuman ini semakin ditegakkan sejak militer Thailand mengambil alih kekuasaan pada 2014 melalui kudeta dan banyak orang telah dihukum dengan hukuman penjara yang berat. Kritikus mengatakan pemerintah yang didukung militer menggunakan undang-undang tersebut untuk menekan kebebasan berbicara.

PBB pun telah berulang kali meminta Thailand untuk mengubahnya. Namun pemerintah Thailand mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk melindungi monarki yang sangat dihormati di Thailand.

Hukuman itu termuat dalam pasal 112 hukum Thailand yang mengatakan siapa pun yang mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, pewaris, atau bupati akan dihukum dengan hukuman penjara antara tiga dan 15 tahun.

Undang-undang ini hampir tidak berubah sejak dibuatnya hukum pidana pertama negara itu pada 1908, meskipun hukumannya diperketat pada 1976. Keputusan itu juga telah diabadikan dalam semua konstitusi Thailand baru-baru ini.

"Raja akan dinobatkan dalam posisi pemujaan yang dihormati dan tidak boleh dilanggar. Tidak ada seorang pun yang boleh mengekspos Raja terhadap tuduhan atau tindakan apa pun," demikian kata konstitusi baru.

Namun, tidak ada definisi tentang apa yang merupakan penghinaan terhadap monarki. Para kritikus mengatakan hal ini memberi kelonggaran kepada pihak berwenang untuk menafsirkan hukum dengan cara yang sangat luas.

Pengaduan Lese Majeste dapat diajukan oleh siapa saja, terhadap siapa saja, dan harus selalu diselidiki secara resmi oleh polisi. PBB mengatakan mereka yang ditangkap dapat ditolak jaminannya dan beberapa ditahan untuk waktu yang lama dalam penahanan pra-sidang.

Para wartawan mengatakan persidangan secara rutin diadakan dalam sesi tertutup yang sering kali digelar di pengadilan militer di mana hak-hak terdakwa dibatasi. Hukuman penjara juga berlaku untuk setiap dakwaan Lese Majeste. Ini berarti mereka yang dituduh melakukan banyak pelanggaran dapat menghadapi hukuman penjara yang sangat lama.

Pada Juni 2017, seorang pria dijatuhi hukuman 70 tahun penjara dalam hukuman terberat yang pernah dijatuhkan, meskipun kemudian dikurangi setengahnya ketika dia mengaku. Kendati demikian, tagar trending teratas di platform media sosial di Thailand, digunakan lebih dari 1,5 juta kali, telah menghina sang raja.

Padahal, penghinaan terhadap monarki dapat dihukum hingga 15 tahun penjara di bawah undang-undang Lese Majeste Thailand. Namun perdana menteri mengatakan awal tahun ini bahwa raja meminta agar undang-undang itu tidak digunakan untuk saat ini.

Para pengunjuk rasa mengatakan mereka tidak mengupayakan penghapusan monarki, tetapi untuk mengurangi kekuasaan raja di bawah konstitusi dan membatalkan perintah untuk menempatkan kekayaan istana dan beberapa unit tentara di bawah kendalinya. "Monarki harus berada di bawah konstitusi, begitulah seharusnya," kata pengunjuk rasa berusia 21 tahun bernama Waranya Siripanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement