REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meroketnya jumlah kebutuhan pangan masyarakat mulai menjadi masalah besar. Kebutuhan produksi pangan pada 2050 diprediksi meningkat hingga 50 persen dibandingkan 2012, mengutip data Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2018.
“Saat itu akan ada 9,7 miliar mulut penduduk yang harus diberi makan. Sebanyak 68 persen di antaranya tinggal di perkotaan, sehingga diperlukan jumlah pangan yang sangat besar khususnya bagi masyarakat konsumen perkotaan," kata peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Dian Armanda, dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (16/10).
Di sisi lain, kata Dian, luasan lahan pertanian konvensional secara global terus tergerus. Ledakan jumlah penduduk membuat banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi tempat permukiman. Hal ini jelas semakin menekan jumlah produksi pangan yang dihasilkan. Karena itu perlu ada terobosan lain untuk pemenuhan pangan masa depan.
“Jika pada 1960-2000 terobosan itu dilakukan dengan intensifikasi masif pertanian melalui revolusi hijau, maka saat ini innovative urban farming atau pertanian perkotaan inovatif adalah jawabannya,” kata kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini.
Hasil riset Dian dalam jurnal internasional Global Food Security (September, 2019) menunjukkan, urban farming kian menjanjikan. Hal ini ditinjau dari segi aspek potensi produksi global, keragaman pangan yang dihasilkan, potensi luasan lahan dan jumlah praktisi yang terlibat
Riset yang mengambil sejumlah sampel lokasi urban farming komersial di Asia, Amerika, dan Eropa itu memperlihatkan sistem pertanian perkotaan ini bisa meningkatkan sumber pangan dengan efektif dan efisien.
“Sebagai contoh, urban farming Aerofarm di kawasan kota New Jersey, Amerika Serikat mampu menghasilkan panen sayur hingga 140 kg per tahun per meter persegi lahan dengan teknik aeroponik indoor vertikal,” kata ibu beranak tiga ini.
Kapasitas produksinya bisa mencapai 100 kali lebih banyak daripada pertanian konvensional, tapi dengan konsumsi air cuma sepersepuluhnya. Innovative urban farming juga dipandang cukup ramah lingkungan.
“Inovasinya membuat aspek perawatan dan sumber daya yang dipakai menjadi minimalis, tapi dapat menghasilkan panen yang maksimalis,” kata perempuan kelahiran Yogyakarta itu.
Dian menyatakan, sejak 2010, terobosan teknologi innovative urban farming seperti hidroponik, akuaponik, aeroponik, vertical farming, indoor farming, dan precision farming semakin berkembang secara global. Gaya hidup baru berkebun urban skala hobi maupun rumahan untuk subsisten (pemenuhan kebutuhan sendiri) semakin marak.
Demikian pula dengan kebun urban skala komersial. Banyak bermunculan perusahaan urban farming berupa pabrik sayuran di tengah kota di berbagai belahan dunia.
“Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, di mana orang punya banyak waktu di rumah, urban farming terus berkembang menjadi salah satu kegiatan favorit masyarakat. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Ini langkah awal yang bagus untuk menciptakan ketahanan pangan masa depan,” ujarnya.
Berkebun urban di tiga benua
Untuk memperkuat ketahanan pangan tersebut, Dian mengajak masyarakat Indonesia beramai-ramai menjadikan lahan pekarangannya dan ruang-ruang potensial di rumah sebagai kebun urban. Hasil panennya bisa dipetik untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Apalagi mayoritas tanah di Indonesia itu subur. Sinar matahari dan air pun melimpah sepanjang tahun. “Beragam tanaman bisa tumbuh di negeri ini. Anugerah Tuhan sebagai negara megabiodiversity,” jelas Dian.
Di negara subtropis di Amerika dan Eropa, misalnya, kegiatan bercocok tanam membutuhkan sumber daya yang lebih besar. Tanpa rekayasa teknik, berkebun hanya bisa dilakukan di musim panas saja. Tanaman juga memerlukan perawatan ekstra.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana pengalaman berkebun urban di negara tropis dibaningkan dengan subtropis Amerika dan Eropa, masyarakat dapat mengikuti webinar bertajuk “Berkebun Urban di 3 Benua; Sisi Praktis dan Teoretis”. Webinar yang diselenggarakan CitiGrower bekerja sama dengan Republika ini akan dilaksanakan pada Sabtu (17/10) pukul 19:30 via aplikasi virtual.
Co Founder CitiGrower Agung Bakti mengatakan, webinar ini bertujuan untuk ikut mengedukasi masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai benua untuk aktif dalam kegiatan urban farming. “Sebagai narasumber ahli, Dian Armanda akan menyampaikan aspek teoretis serta pengalaman berkebun urbannya di Indonesia dan Eropa.
Sedangkan narasumber owner Haiqal Garden, Syarif Syaifulloh, diaspora Indonesia di Philadelphia, akan bercerita bagaimana cara di negara subtropis Amerika,” ujar Agung. Webinar ini bersifat gratis dan peserta akan mendapatkan sertifikat. Masyarakat bisa mendaftarkan lewat tautan https://bit.ly/citigrowerwebinar