REPUBLIKA.CO.ID, BOSNIA -- Masjid Atiq Sultan Sulaiman di Bijeljina, Bosnia dan Herzegovina pada Ahad (11/10) diserang dan dirusak di tengah malam. Perusakan masjid yang tercatat sebagai peninggalan bersejarah nasional memicu ketakutan lebih lanjut Muslim Bosnia di tengah meningkatnya nasionalisme Serbia.
Kota Bijeljina merupakan daerah dengan mayoritas penduduk Serbia di Republika Srpska dan menjadi tempat salah satu pembunuhan massal pertama perang Bosnia. Saat itu, milisi di bawah komando Presiden Serbia Slobodan Milosevic membantai puluhan Muslim Bosnia pada 1-2 April 1992.
Serangan terhadap masjid paling terkenal di kota itu terjadi hanya empat minggu setelah masjid dan Muslim Serbia menjadi sasaran kekerasan dan vandalisme setelah pemilihan umum di Montenegro pada 30 Agustus lalu. Sebuah tulisan grafiti yang memuji para pelaku genosida Srebrenica tersebar di dinding dan bangunan di seluruh wilayah tersebut.
"Ini benar-benar menakutkan. Semua orang normal gemetar ketika genosida Srebrenica disebutkan dalam konteks semacam ini. Saya suka percaya hal-hal dari tahun 90-an tidak akan pernah terjadi lagi di Balkan," ujar Mevlud Dudic, presiden Komunitas Islam di Serbia yang dilansir di Euro News, Kamis (15/10).
CJ Werleman dalam opininya di TRT World, Jumat (16/10), mengatakan ide nasionalisme Serbia kembali lagi di seluruh wilayah, termasuk Serbia, Bosnia, dan Montenegro. Itu didorong oleh para pemimpin politik yang berusaha mengkambinghitamkan Muslim karena kegagalan kepemimpinan mereka. Hal ini diperburuk dengan campur tangan pemerintah asing, khususnya Rusia, dan penolakan genosida Srebrenica.
Para ahli dalam genosida berpendapat penolakan genosida Srebrenica telah dibiarkan membusuk dan berkembang. Misalnya, ketika para pemimpin Serbia Bosnia tidak meremehkan atau menyangkal jumlah korban genosida Srebrenica, mereka menggambarkan Serbia berada di bawah pengepungan Muslim dan bahwa kekejaman awal 1990-an dilakukan untuk membela diri.
Awal tahun ini, Srebrenica Memorial Center menerbitkan laporan untuk memperingati 25 tahun pembunuhan massal ribuan pria, wanita, dan anak-anak Muslim Bosnia. Laporan ini mencatat bahwa alih-alih mereda seiring waktu, penolakan genosida semakin menjadi dan berbahaya dalam beberapa tahun terakhir.
"Wacana umum lainnya yang meniadakan identitas para korban yang sangat mendarah daging dalam ideologi historis nasionalisme Serbia. Seakan ingin menyatakan bahwa Bosnia pada kenyataannya bukanlah orang yang sah, dan dengan demikian menurut definisi tidak dapat menjadi sasaran genosida," kata laporan tersebut.
Ketegangan di daerah tersebut terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. Terbukti dari cara beberapa masjid dihancurkan oleh pihak berwenang di Serbia dan Bosnia sejak 2017.
“Situasi di Bosnia sangat tegang. Kami takut dengan perang baru dan kami tahu betul jika perang dimulai, kami akan menjadi korban lagi, karena kami Muslim, tentu saja,” kata seorang warga Muslim Bosnia dan Herzegovina, yang meminta tidak disebutkan namanya karena takut akan orang Serbia.