REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Kristen pada Abad Pertengahan masih diliputi fanatisme keagamaan dan sentimen anti-Muslim. Namun, anomali dari kalangan terpelajar mereka tetap muncul.
Di antara tokoh-tokoh Kristen yang berpikiran terbuka pada zaman itu ialah Pendeta Gerbert. Sumber-sumber Eropa menyebutnya sebagai Gerbert d'Aurillac (Gerbert dari Aurillac).
Dia lahir pada 946 di Auvergne, Prancis, dan sudah memperoleh pendidikan rahib sejak belia. Saat usianya 21 tahun, biara tempatnya belajar dikunjungi seorang ningrat dari Barcelona.
Borrell II, sang bangsawan itu, terkesan dengan kemahiran Gerbert. Dia pun meminta pihak biara agar membolehkan anak muda ini tinggal bersamanya di Catalonia.
Selama merantau di Andalusia, Gerbert memperoleh berbagai keterampilan, termasuk bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Daerah tempatnya menimba ilmu berada di luar wilayah kekuasaan Muslim. Bagaimanapun, dia seperti para sarjana Kristen pada umumnya tetap dapat meng akses buku-buku berbahasa Arab. Sebab, Andalusia pada masa itu bercorak kos mopolitan.
Meskipun Islam mendominasi secara politik, para penguasa Muslim tidak menutup kesem patan bagi orang-orang dari belahan bumi manapun yang hendak menuntut ilmu.
Karakteristik peradaban Islam menyerap macam-macam inovasi dari kebuda yaan manapun. Selain sistem numeralyang diadopsi dari India, untuk kemudian dinamakan angka Arab oleh orang Eropa ada pula kertas yang mulanya diciptakan bangsa China. Penciptaan kertas melonjakkan produksi buku dan pada akhirnya perpustakaan. Pemimpin pada masa itu senang membanggakan diri dengan buku.
Ambil contoh Khalifah al-Hakim. Penguasa Kordoba itu memiliki koleksi tak kurang dari 400 ribu buku di perpustakaan pribadinya yang dibangun pada abad ke-10. Demikianlah, peradaban Islam di Andalusia selama lebih dari tujuh abadsejak abad kedelapan hingga 15 Masehime numbuhkan ekosistem yang subur bagi fi gurfigur haus ilmu, sekalipun mereka dari kalang an non-Muslim, seperti Pendeta Gerbert.
Gerbert tinggal di Andalusia, tepatnya Biara Santa Maria di Ripoll (kini bagian dari Catalonia, Spanyol), sejak 967 hingga 970. Menurut Ifrah, berbagai sum ber menyebutkan, pendeta tersebut sempat mengunjungi Seville, Fez, dan Kordoba demi mempelajari aritmatika angka Arab.
Ada riwayat yang menyatakan, dia menyamar sebagai seorang Muslim untuk dapat diterima di kampus-kampus berbahasa Arab.
Namun, menurut Georges Ifrah dalam The Universal History of Numbers: From Prehistory to the Invention of the Computer (2000), sangat mungkin Gerbert tak perlu melakukan hal itu karena tradisi intelektual di Andalusia tidak mempersoalkan kesamaan iman. Ripoll sendiri merupakan kota kecil yang berbatasan dengan wilayah Franks di utara dan Kekhalifahan Umayyah di selatan. Lokasi yang strategis menjadikan Ripoll titik perjumpaan antara dua kebudayaan, Islam, dan Kristen.
Gerbert kemudian mengajar di biara Kota Reims (sekitar 130 kilometer dari Paris, Prancis). Di sanalah dia mulai mem perke nalkan sistem angka Arab. Sayangnya, me nurut Ifrah, pendeta tersebut hanya menjelaskan tentang angka 1 hingga 9, tanpa angka nol. Alhasil, dia tidak mampu menyuguhkan metode aritmatika kepada masyarakat setempat.
Gerbert justru di musuhi sesama pendeta. Sebab, mereka merasa angka Arab tidak pantas untuk diajarkan di biara-biara Kristen. Mereka meyakini, Latin adalah kebudayaan adiluhung yang tidak mungkin tertandingi kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk Arab.
Penggunaan angka Arab tetap menuai perlawanan dari masyarakat Kristen Eropa meskipun sosok yang pertama kali memperkenalkannya ke mereka lantas menjadi Paus Sylvester II (999-1003).