Jumat 16 Oct 2020 23:28 WIB

Kelompok Masyarakat Ajukan Permohonan Uji Formil UU Ciptaker

Sejumlah masyarakat asal Ngawi ajukan permohonan uji formil UU Ciptaker.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah masyarakat asal Ngawi, Jawa Timur yang mengatasnamakan Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstiusi (GEMA PHK) mengajukan permohonan gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/10). Melalui Kuasa Hukumnya, pemohon berdalih UU Cipta Kerja tidak menyederhanakan regulasi, lantaran 78 Undang-Undang yang diatur dalam UU Cipta masih tetap ada/eksis, dan hanya pasal-pasal yang dianggap menghambat investasi saja yang diubah/dihapus dalam UU Cipta Kerja. 

"Kuasa Hukum Pemohon berpendapat Proses Pembentukan UU Cipta Kerja telah menabrak asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan menabrak konstitusi," kata salah satu Kuasa Hukum pemohon Viktor Santoso Tandiasa dalam konferensi pers secara daring, Kamis.

Baca Juga

Viktor mengatakan, UU Cipta Kerja tidak hanya mengatur pekerja/buruh, tetapi ada 11 kluster lainnya, diantaranya penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi,  ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha. Selain itu UU Kerja juga mengatur dukungan riset dan inovasi administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

"Oleh karena itu yang berpotensi dirugikan ialah berbagai macam kepentingan kelompok buruh/pekerja, kepentingan pendidikan (kapitalisasi pendidikan), masyarakat adat dan lingkungan. jadi semua kelompok ini seharusnya turut menolak uu ciptakerja," ujarnya. 

Kuasa Hukum Pemohon beranggapan UU Cipta Kerja telah melanggar asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas kejelasan rumusan. Pemohon juga menganggap pembahasan UU Cipta Kerja dinilai juga melanggar asas keterbukaan lantaran dinilai tidak transparan dan tidak partisipatif.

"Selain menabrak asas-asas pembentukan perundang-undangan pembentuk undang-undang telah melanggar prosedur persetujuan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang yang diatur dalam Pasal 20 Ayat (4) DanPasal 72 Ayat (2) UU Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berserta penjelasannya," ucapnya.

Pemohon meyakini, jika permohonan uji formil ini dikabulkan maka putusannya akan membatalkan seluruh UU Cipta Kerja. Namun jika memang pembentuk uu memiliki political will, pemohon  berharap agar pembentuk undang-undang dapat langsung saja memasukan materi muatan yang menguntungkan rakyat dalam UU Cipta Kerja dipindah ke UU induknya dengan cara segera melakukan revisi dan disahkan.

"Sudah Ada Contoh UU KPK,UU MK, UU Minerba yang dibahas dan disahkan serta diundangkan dengan proses yang sangat cepat," ungkapnya.

Viktor juga menanggapi terkait isu yang menyebut bahwa presiden sudah meminta dukungan kepada MK terkait UU Cipta Kerja. Pemohon tetap optimis bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja menabrak asas-asas serta nilai-nilai konstitusionalisme.

"Inilah momentum untuk kita melihat komitmen mahkamah sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak yang dijamin oleh konstitusi untuk ditegakkan di tengah gencarnya hastag mosi tidak percaya kepada DPR," tuturnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement