REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) kembali mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi, dan pengambilalihan pengembangan kasus skandal hukum terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Kordinator MAKI Boyamin Saiman menyebutkan ada sejumlah pintu penyelidikan, dan penyidikan baru yang dapat dilakukan KPK terkait pemberian suap, gratifikasi oleh terpidana korupsi Bank Bali 1999 itu.
Boyamin mengatakan, pintu paling terang bagi KPK, terkait aliran uang yang diterima tersangka Irjen Napoleon Bonaparte dalam kluster kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra. Kasus yang penyidikannya dilakukan oleh Bareskrim Polri itu, menyimpan dua dugaan tambahan. Yaitu terkait aliran uang suap Rp 7 miliar yang diyakini, tak cuma mengalir ke kantong mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri itu sendiri. Pun, terkait pencucian uangnya (TPPU).
"KPK harus mengambil peluang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan baru terhadap dugaan penerimaan dari Djoko Tjandra kepada oknum-oknum yang ada di NCB Interpol itu. Termasuk dalam masalah TPPU-nya," ujar Boyamin, Jumat (16/10).
Menurutnya, pengembangan kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra itu, tak memungkinkan lagi bagi Bareskrim untuk melakukan. "Alasannya, karena sudah dilakukan pelimpahan berkas. Dan mungkin karena faktor psikologis," ucap Boyamin.
Ia menambahkan, terkait itu, KPK sebetulnya sudah punya dua kunci utama untuk mengungkap dugaan uang suap Djoko Tjandra yang tak cuma dinikmati Napoleon pribadi di Mabes Polri. Meskipun belum mau menyebutkan inisial para terduga penerima lain uang tersebut. Namun Boyamin mengungkapkan, adanya fakta bukti saat praperadilan Napoleon yang mengungkapkan tentang pemberian, dan aliran uang dari Djoko Tjandra tersebut.
"KPK yang semestinya melakukan pengungkapan baru terkait itu," ujarnya.
Dugaan aliran uang Rp 7 miliar dari suap Djoko Tjandra kepada Napoleon, pun semakin menguat setelah jenderal bintang dua itu, mengancam akan membeberkan siapa saja yang menerima. Napoleon, pada Jumat (16/10), mengancam akan membongkar nama-nama oknum di Mabes Polri yang terlibat dalam skandal penerimaan suap dari Djoko Tjandra.
"Akan waktunya. Ada tanggal mainnya. Kita buka semuanya nanti ya," kata Napoleon saat ditanya tentang siapa saja yang terlibat menerima pemberian uang dari Djoko Tjandra, Jumat (16/10).
Uang suap Rp 7 miliar pemberian dari Djoko Tjandra itu, diduga terkait dengan penghapusan red notice yang dituduhkan kepada Napoleon. Dalam kasus ini, sudah ada empat orang tersangka. Termasuk Brigjen Prasetijo Utomo, mantan Kakorwas PPNS Bareskrim Polri yang dituduh menerima 20 ribu dolar (Rp 296 juta). Rangkaian pemberian uang tersebut, dilakukan Djoko Tjandra, yang juga ditetapkan tersangka, lewat perantara pengusaha Tommy Sumardi tersangka lainnya.
Empat tersangka itu, saat ini tinggal menunggu persidangan, karena statusnya sudah dalam penahanan, dan pelimpahan berkas ke Kejaksaan Agung (Kejakgung). Khusus terhadap tersangka Brigjen Prasetijo, juga terungkap dalam berkas dakwaan perkara surat jalan, dan dokumen palsu Djoko Tjandra, yang dijanjikan kepemilikan saham pada sejumlah unit usaha di Indonesia. Namun, belum terungkap berapa besaran janji kepemilikan saham yang ditawarkan Djoko Tjandra kepada Prasetijo.
Boyamin melanjutkan, terkait dengan penghapusan red notice Djoko Tjandra tersebut, pun pengungkapannya belum menyentuh keimigrasian. Sebab kata dia, dalam kasus itu, bukan cuma melibatkan NCB Polri, tetapi juga oknum di imigrasi. Sebab kata Boyamin, ada juga penghapusan status buronan Djoko Tjandra, di imigrasi. Selain itu, pun Djoko Tjandra terbukti melakukan pembuatan paspor di imigrasi Jakarta Utara (Jakut) saat berada di Indonesia, dalam statusnya sebagai buronan.
Selain pengembangan kasus lini kepolisian, dan imigrasi, Boyamin menambahkan, ada dugaan yang dapat dijadikan modal penyelidikan, dan penyidikan baru oleh KPK di ranah pengadilan, pun dugaan di level mahkamah. Salah satunya, Kata Boyamin, saat Djoko Tjandra mendaftarkan Peninjuan Kembali (PK) di PN Jakarta Selatan, Juni-Juli 2020 yang mendapatkan fasilitas tak biasa.
"PK itu seharusnya, di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Itu ada lantai bawah PN Jakarta Selatan. Tetapi, Djoko Tjandra bersama pengacaranya, Anita Dewi Kolopaking, mendaftarkan PK di ruang lantai dua," ujar Boyamin.
Meskipun belum memutuskan untuk melakukan penyidikan baru. Namun KPK, dikatakan Boyamin, seharusnya dapat melakukan klarifikasi, sebagai respons penyelidikan awal, terkait dugaan-dugaan yang sudah terungkap dalam sejumlah fakta peristiwa dugaan pidananya.