REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Parahyangan Bandung Prof Asep Warlan Yusuf menilai Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja mampu menghilangkan ego sektoral. Juga hilangkan perizinan yang berbelit, serta memberikan kepastian waktu dan biaya berinvestasi.
"Banyak poin di Omnibus Law UU Cipta Kerja yang baik. Namun tidak dijelaskan sejak awal," kata dia kepada wartawan di Jakarta, Jumat (17/10).
Menurut dia, ego sektoral itu menjadikan hambatan birokrasi dalam perizinan dunia usaha bagi para investor yang akan menginvestasikan modalnya di Indonesia. Dengan adanya UU Cipta Kerja, kata dia, akan lebih mudah untuk menciptakan lapangan kerja lantaran investor bisa membangun usaha dengan maksimal
Kemudian, kata dia, ada penjaminan dari pemerintah ketika ada pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada buruh dari pengusaha. Yakni terkait dengan pesangon yang sebagian ditanggung oleh perusahaan dan sebagian lainnya oleh pemerintah.
"Meskipun juga kenapa jadi beban pemerintah? Karena pengusaha menyatakan, ya, tidak sepenuhnya oleh kami, negara pun harus menjamin terhadap situasi kondisi perusahaan," kata Asep.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengatur soal alih daya karena pegawai alih daya atau kontrak semakin jelas status hukum atau basisnya dengan melihat kompetensi, bukan waktu. "Kalau kompetensinya bagus, dibutuhkan, ya akan terus dijadikan karyawan. Kalau sekarang kan, 'outsourcing' itu sekadar waktu. Waktunya habis (kontrak), ya sudah, tidak jelas nasibnya," terangnya.
Asep mengatakan hal-hal yang bagus dari UU Cipta Kerja tersebut tidak pernah didiskusikan kepada publik dalam jangkauan yang luas, khususnya kepada para tenaga kerja. Jika pemerintah partisipatif dan ada pelibatan publik yang luas, khususnya dari tenaga kerja, lanjut dia, mungkin daya tolak terhadap UU Cipta Kerja akan kurang.
"Ketika dialog itu dilakukan, sudah jadi (UU Cipta Kerja) kan mereka menjadi merasa tidak punya makna. Jadi, saya kira problem utama dari masalah ini adalah komunikasi yang sangat lemah dari pemerintah," kata Asep.