Sabtu 17 Oct 2020 13:57 WIB

Pakar: Pembentukan UU Ciptaker Praktik Legislasi Terburuk

Pakar menilai proses pembentukan UU Ciptaker praktik legislasi terburuk.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan proses pembentukan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) merupakan praktik legislasi terburuk, terutama pascareformasi. Menurutnya, pembuatan UU Ciptaker bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan serta melanggar moralitas demokrasi.

"Apakah mengubah-ubah naskah, tidak ada informasi dan sebagainya itu melanggar tata hukum negara? Dalam prosedural iya, melanggar prinsip iya juga. Jadi ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami, bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini," ujar Bivitri dalam diskusi daring, Sabtu (17/10).

Baca Juga

Bivitri mengaku telah menelusuri pembentukan UU Ciptaker, mulai dari proses pembahasan, persetujuan tingkat I, sampai beredarnya naskah yang berbeda-beda usai disahkan pada rapat paripurna. Bivitri menilai, proses pembahasan Rancangan UU (RUU) Ciptaker terburu-buru, sehingga menabrak ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ia mencontohkan, pelanggaran dapat dilihat dari rapat pengambilan keputusan tingkat I antara DPR dan pemerintah yang tak wajar. Sebab, rapat dilaksanakan pada Sabtu, 3 Oktober 2020 dan menjelang tengah malam.

Bivitri menyebutkan, ada keinginan yang luar biasa mempercepat rapat paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja, dari jadwal semula 8 Oktober menjadi 5 Oktober. Penjadwalan ulang rapat paripurna pun dilakukan tanpa pemberitahuan yang memadai.

"Mengukur jarak dari persetujuan-persetujuan itu sampai dengan persetujuan tingkat satu itu sekitar dua jam saja. Terang saja kelaziman dan pengaturan yang biasanya diterapkan untuk bisa punya naskah akhir pada persetujuan tingkat satu itu juga tidak bisa diraih," ujarnya.

Dengan demikian, rapat paripurna pada 5 Oktober berakhir dengan tidak adanya naskah yang betul-betul final. Padahal, kata Bivitri, saat persetujuan tingkat I, lazimnya draf final harus sudah ada.

"Itu sudah harus ada naskah finalnya, itu kelaziman dan juga diatur dalam undang-undang," katanya.

Naskah yang beredar berbeda-beda, baik dari segi jumlah maupun substansi. Bivitri menduga, naskah yang beredar itu berbeda-beda bukan hanya karena perubahan ukuran kertas yang digunakan, tetapi juga perubahan substansi.

"Kami sudah gunakan software, zaman sekarang gampang kan, kita gunakan software ada perbedaan tuh, masing-masing membedakan, secara subtansi juga ada yang berbeda," ucap Bivitri

Ia menambahkan, selain melanggar prosedur, pembentukan UU Ciptaker juga bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diamanatkan UUD 1945. Ketentuan Pasal 20 UUD 1945 menyebutkan, setiap rancangan undang-undang harus mendapatkan persetujuan bersama antara presiden dalam hal ini para menteri dan anggota DPR.

"Kalau cuma dipandang itu cuma ketok saja biar mendahului rencana buruh untuk demonstrasi makanya dimajukan ke tanggal 5, ini sangat jelas melanggar moralitas demokrasi kita," ucap Bivitri.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement