REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesadaran akan Covid-19 masyarakat memang belum optimal. Apalagi dalam sebuah suvei terakhir diketahui ada sekitar 50 juta orang Indonesia tak percaya Covid-19 ada dan mereka tak percaya pula akan bisa terena wabah ini.
''Ya memang begitu. Bahkan murid-murid saya pun percaya begitu. Kami para gurunya terus menyakinkan dan mencontohkan bahwa penyakit itu ada. Para guru selalu memakai masker ketika beraktivitas,'' kata Rahma, seorang gurung SMK Marif VII di Kebumen, Jawa Tengah, dalam sebuah perbicangan 17/10).
Menurutnya, setelah diyakinkan --terutama pada masa PSPB kedua -- para siswa sekolah mulai sadar. Mereka kian menerti bahaya itu.''Tapi kendalanya da, karena para guru belum bertatap muka karena selama ini kami mengajar melalui daring. Dan kami memang sangat berharap mudah-mudahan mereka sadar dan menjalankan protokol kesehatan, misalnya memakai masker dan cuci tangan denan sabun sesering mungkin,'' ujar Rahma.
Bagi sekolah beserta para guru, lanjut Rahmna mengajar di tengah masa pandemi itu sebuah tantangan yang luar biasa. Selain soal waktu yang harus tersita di depan komputer, ternyata belajar dan mengajar melalui daring itu butuh tenaga ekstra. Ini karena belajar mengajar melalui daring atau tanpa tatap muka perlu bolak-balik mengulang.
''Tapi kami yakin, bukan kami yang sulit, para murid pun susah. Dan karena ada kesushan itu kami pakai untuk menyakinkan kepada para siswa ajar agar memakai masker supaya rantai Covid-19 cepat terputus. Kita bisa terbebas dari pandemi yang memang bikin susah,'' tegasnya.
Menurutnya, para siswa juga terus bertanya kapan pandemi akan berakhir atau kapan bisa belajar dengan normal. Merka juga tak betah dengan cara belajar dengan sistem tanpa tatap muka. Mereka mengelh juga gak bisa berteman dan pergi jalan-jalan dengan bebas.
''Kami hanya kasih saran agar semuanya sabar. Sekarag patuhi saja protokol kesehatan. Sebab, bila tidak taat bukan paramurid saja yang rigi tapi saudara dan para tetangga sekampung pun bisa ikut rugi,'' tandasnya.