REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kompilasi Hukum Islam dan pemerintah menambahkan dua syarat lainnya yang bersifat perdata bagi suami yang ingin menikah lagi. Pertama, suami mesti mendapat izin tertulis dari pengadilan agama dan persetujuan tertulis dari istri.
Isnan Ansory, dalam bukunya "Silsilah Tafsir Ahkam: QS. An-Nisa’: 3 (Poligami)"
menyampaikan, para ulama berbeda pendapat tentang status syarat yang ditetapkan oleh istri kepada suami, untuk tidak boleh melakukan poligami, apakah pensyaratan yang dibolehkan atau tidak?
Kata dia, mazhab pertama syarat yang dibolehkan. Sebagian sahabat sepeti Umar bin Khatthab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyyah dan Amr bin
Ash. Serta sebagian ulama seperti Syuraih, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, al-Awza’i dan Ishaq berpendapat bahwa syarat seperti ini dapat dibenarkan.
"Dan karenanya, suami wajib memenuhi persyaratan tersebut," katanya.
Namun jika suami melanggarnya, pernikahan tetap dinilai sah, dan istri
memiliki hak untuk menggugat cerai. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam al-Mughni:
"Jika ia menikahinya, dan sang istri mensyaratkan untuknya atas suami untuk tidak boleh berpoligami, maka syarat ini wajib ditunaikan. Dan
jika suami melanggarnya, maka istri mempunyai hak untuk menuntut cerai (fasakh). Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Khatthab, Sa’ad bin Abi
Waqqash, Mu’awiyyah dan Amr bin Ash. Serta sebagian ulama seperti Syuraih, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, al-Awza’i dan Ishaq."
Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadits berikut:
Dari Uqbah bin Amir - r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Syarat yang paling patut kalian tepati adalah syarat yang menghalakan terjadinya hubungan
badan (pernikahan).” (HR. Bukhari Muslim).
Mazhab Kedua: Syarat yang batil.
Sebagian ulama lainnya seperti az-Zuhri, Qatadah, Hisyam bin Urwah, Malik, al-Laits, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ibnu al-Munzir dan kalangan al-Hanafiyyah
berpendapat bahwa syarat ini adalah syarat yang batil. Hanya saja, pensyaratan ini tidaklah membatalkan pernikahan. Dan suami memiliki hak
untuk menurutinya ataupun tidak.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam al-Mughni: Syarat ini dinilai batal oleh az-Zuhri, Qatadah, Hisyam bin Urwah, Malik, al-Laits, ats-Tsauri, asy-
Syafi’i, Ibnu al-Munzir dan Ashab ar-Ro’yi. Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadits berikut:
Dari Aisyah - radliallahu 'anha, Rasulullah SAW bersabda: “Bagaimana bisa orang-orang membuat syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah. Siapa yang membuat syarat yang tidak ada pada Ktab Allah maka merupakan syarat yang batal sekalipun dia membuat seratus syarat. Karena syarat yang dibuat Allah lebih hak dan lebih kokoh.” (HR. Bukhari).
Dari Amr bin Auf al-Muzani: Dari Rasulullah SAW ”Orang-orang
muslim itu terikat dengan syarat-syarat yang disepakati di antara mereka, kecuali syarat yang menghalakan yang haram atau syarat yang mengharamkan yang halal.” (HR. Muslim)