REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Amerika Serikat (AS) menentang berakhirnya embargo senjata konvensional Iran, namun ditolak oleh mayoritas suara Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB). Hari ini pun, larangan embargo senjata konvensional yang diberlakukan terhadap Iran telah berakhir sejalan dengan ketentuan kesepakatan nuklir Iran dan kekuatan dunia.
Larangan 13 tahun yang diberlakukan oleh DK PBB berakhir pada Ahad (18/10) sebagai bagian dari Resolusi 2231 dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan itu merupakan sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 2015 yang memberikan keringanan sanksi kepada Iran sebagai imbalan untuk membatasi program nuklirnya.
"Mulai hari ini, semua pembatasan pada transfer senjata, kegiatan terkait dan layanan keuangan ke dan dari Republik Islam Iran semuanya otomatis dihentikan," kata Kementerian Luar Negeri Iran dikutip laman Aljazirah, Ahad.
Berakhirnya embargo, berarti Iran secara hukum akan dapat membeli dan menjual senjata konvensional, termasuk rudal, helikopter, dan tank. Kementerian luar negeri Iran mengatakan, negara Iran sekarang dapat memperoleh senjata dan peralatan yang diperlukan dari sumber mana pun tanpa batasan hukum, dan semata-mata berdasarkan kebutuhan pertahanannya.
"Namun, Iran mandiri dalam pembelaannya. Senjata yang tidak konvensional, senjata pemusnah massal dan pembelian senjata konvensional tidak memiliki tempat dalam doktrin pertahanan negara," kata Kementerian Luar Negeri Iran.
AS secara sepihak menarik diri dari JCPOA pada Mei 2018, seraya memberlakukan gelombang sanksi ekonomi yang keras terhadap Iran. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump juga telah menggunakan segala cara untuk mengurai kesepakatan nuklir dan menghentikan pencabutan embargo senjata terhadap Iran.
Dalam langkahnya yang terbaru pada awal Oktober. Ketika 18 bank Iran masuk daftar hitam, termasuk yang memproses transaksi perdagangan kemanusiaan, hal ini secara efektif memutuskan sektor keuangan Iran dari ekonomi global.
Pemerintah AS sangat didukung dalam upayanya oleh Israel dan sejumlah negara Arab yang menentang perluasan pengaruh regional Iran. Pada Agustus, AS mengajukan resolusi DK PBB untuk memperpanjang embargo senjata tanpa batas, tetapi ditolak.
Dari 14 negara anggota DK PBB, yang disebut E3 Prancis, Jerman, dan Inggris, dan delapan lainnya abstain sementara Rusia dan hCina menentang perpanjangan itu. Hanya Republik Dominika yang mendukung resolusi tersebut.
Setelah mengumumkan proses untuk menghentikan kembali sanksi terhadap Iran dan menunggu selama satu bulan, AS pada September mengumumkan telah secara sepihak memulihkan semua sanksi PBB terhadap Iran yang dicabut sebagai bagian dari Resolusi 2231. Jika diterapkan, langkah tersebut secara otomatis akan memperpanjang embargo senjata juga.
Namun demikian, mayoritas besar negara anggota DK PBB sekali lagi menolak tawaran tersebut. Mereka mengatakan tidak ada proses untuk mengembalikan sanksi yang dimulai karena langkah tersebut tidak memiliki dasar hukum.
AS pun mengancam konsekuensi bagi negara-negara yang tidak mematuhi pernyataan AS, meski belum mengambil tindakan. Dalam upaya untuk memperpanjang embargo senjata di Iran tanpa batas waktu, AS mengklaim pencabutan embargo akan membuka pintu gerbang kesepakatan senjata yang akan dengan cepat berfungsi untuk semakin mengguncang kawasan itu.
Sementara itu, embargo Uni Eropa pada ekspor senjata konvensional dan teknologi rudal masih berlaku dan akan tetap berlaku hingga 2023. Para menteri luar negeri E3 pada Juli mengeluarkan pernyataan bersama yang mengatakan bahwa sementara tiga negara tetap berkomitmen untuk sepenuhnya melaksanakan Resolusi 2231, mereka percaya pencabutan embargo senjata akan memiliki implikasi besar bagi keamanan dan stabilitas regional.