REPUBLIKA.CO.ID, MINSK -- Ribuan orang yang menuntut pengunduran diri Presiden Alexander Lukashenko, turun ke jalan di ibu kota Belarusia, Minsk pada Ahad (19/10) meski ada ancaman penggunaan senjata oleh aparat terhadap demonstran.
Belarus, bekas republik Soviet yang bersekutu dekat dengan Rusia, diguncang serentetan aksi protes sejak otoritas mengumumkan bahwa Lukashenko, yang memerintah secara otoriter sejak 1994, kembali unggul pada pemilu 9 Agustus, dengan perolehan suara 80 persen. Kantor Berita Interfax menyebutkan jumlah demonstran di atas 30.000 orang. Menurutnya, sekitar 50 demonstran ditangkap polisi dan sinyal pita lebar seluler di sejumlah daerah di kota tersebut mengalami gangguan.
Disebutkan pula bahwa suara keras seperti granat kejut terdengar dekat dengan kerumunan massa. Pejabat polisi senior pekan lalu mengatakan aparat kepolisian akan diizinkan menggunakan senjata api untuk menghadapi demonstran.
Pasukan keamanan menahan lebih dari 13.000 orang sejak pemilu, termasuk semua pemimpin oposisi yang signifikan, yang belum meninggalkan negara tersebut. Pihaknya juga menekan media independen.
Pemimpin oposisi Sviatlana Tsikhanouskaya, yang menyelamatkan diri ke Lithuania, pekan lalu mendesak Lukashenko agar mundur sampai 25 Oktober atau menghadapi apa yang menurutnya bakal menjadi aksi nasional yang melumpuhkan Belarusia.