REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Embargo senjata konvensional PBB yang telah berlangsung 17 tahun terhadap Iran telah berakhir pada Ahad (18/10). Meski begitu, Teheran tidak bisa langsung bebas beraktivitas jual beli senjata.
Sanksi Amerika Serikat (AS) yang tiada henti telah secara signifikan membatasi kemampuan Iran untuk membeli sistem canggih. Sedangkan, pembelian dan pemeliharaannya saja dapat menelan biaya miliaran dolar.
Selain itu, China dan Rusia, atau negara lain yang mempertimbangkan penjualan senjata ke Iran, akan bertindak berdasarkan kepentingan kebijakan luar negeri mereka. Hal itu harus mempertimbangkan keseimbangan kekuatan dan kepentingan ekonomi masa depan di Teluk dan kawasan yang lebih luas.
Iran dan China telah mempertimbangkan kesepakatan kemitraan strategis besar selama 25 tahun, yang rinciannya belum dipublikasikan. Peneliti senior di Pusat Kebijakan Global Carnegie-Tsinghua, Tong Zha, menyatakan, kesepakatan itu telah menyebabkan pengawasan internasional.
China yang ingin menunjukkan citra kekuatan yang bertanggung jawab tentu saja akan melangkah dengan hati-hati. "Lebih penting lagi, jika (Joe) Biden terpilih sebagai presiden AS yang baru - yang tampaknya semakin mungkin - Beijing ingin memulai kembali hubungan AS-China dengan pemerintahan AS yang baru," kata Tong.
Zhao mengatakan, tidak mungkin bagi Beijing untuk membahayakan kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan pemerintahan Biden nantinya. Mereka tidak ingin menghancurkan itu dengan membuat kesepakatan senjata besar-besaran dengan Teheran.
Sementara itu, laporan Badan Intelijen Pertahanan AS 2019 berspekulasi bahwa Iran akan membeli pesawat tempur Rusia Su-30, pesawat latih Yak-130, tank T-90, sistem rudal pertahanan pantai seluler Bastion, dan sistem pertahanan rudal permukaan ke udara S-400. Kemungkinan itu muncul setelah Menteri Pertahanan Iran, Brigadir Jenderal Amir Hatami, melakukan perjalanan ke Rusia pada akhir Agustus.
Hatami melakukan kunjungan untuk mengunjungi Forum Teknis-Militer Internasional Army-2020 dan mengadakan pembicaraan dengan para pejabat senior Rusia. Perjalanan itu memicu spekulasi bahwa Iran tertarik pada senjata Rusia.
Tapi, peneliti Program Keamanan Internasional di Belfer Center for Science and International Affairs, Nicole Grajewski, mengatakan tidak ada indikasi Rusia dan Iran telah menyelesaikan perjanjian senjata potensial untuk negosiasi.
"Kedua belah pihak memiliki alasan untuk tidak menentang Biden jika dia terpilih: Iran dengan JCPOA dan Rusia dengan New START," ujar Grajewski merujuk pada Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 2015.
New START adalah perjanjian pengurangan senjata dan pakta kendali senjata nuklir terakhir yang ada antara Rusia dan AS yang berakhir pada Februari. Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah menyerukan perpanjangan satu tahun pakta tersebut.
Selain itu, Rusia tidak ingin merusak hubungannya dengan Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Israel dengan menyediakan senjata berteknologi tinggi atau canggih bagi Iran. Meski begitu, Teheran dan Moskow dapat menikmati dorongan dalam kerja sama militer dan kontak yang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir karena kepentingan bersama di Suriah dan peningkatan umum dalam hubungan bilateral.
"Kemungkinan akan ada pertukaran dan latihan militer tambahan di samping peningkatan upaya yang mempromosikan interoperabilitas antara angkatan bersenjata Rusia dan Iran di tingkat taktis," kata Grajewski.