Senin 19 Oct 2020 12:17 WIB

Dewan Ingatkan Pemprov Tumpang Tindih Kewenangan PAP

Pajak air tanah di Jabar ditargetkan Rp 320 miliar-Rp 500 miliar di APBD-P 2020.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Kantor DPRD Provinsi Jawa Barat.
Foto: Dok DPRD Jabar
Kantor DPRD Provinsi Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Anggota Komisi III DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar) Husin menyoroti temuan adanya tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dengan pemerintah pusat dalam mengelola pajak air permukaan (PAP).

Menurut dia, tumpang tindih kewenangan itu mengakibatkan adanya wilayah yang seharusnya menjadi kewenangan pemprov malah jadi kewenangan pusat, begitu pun sebaliknya. Husin pun melihat, ada miskomunikasi antara Pemprov Jabar dan pemerintah pusat terkait kewenangan PAP.

"Saya melihat sebenarnya banyak potensi besar pajak dari sektor ini bagi Provinsi Jawa Barat, tetapi iya itu ada tumpang tindih kewenangan," kata Husin di Kota Bandung, Senin (19/10).

Politisi dari Partai Perindo itu mengatakan, persoalan tidak adanya alat ukur jelas yang dimiliki Pemprov Jabar untuk menghitung penggunaan air yang dimanfaatkan perusahaan atau perorangan. Selama ini, Pemprov Jabar tidak berani berinvestasi untuk pengadaan alat tersebut.

Padahal, kata Husni, alat ukur tersebut sangat penting untuk mengantisipasi banyaknya praktik penipuan dalam pengukuran penggunaan atau pemanfaatan air permukaan yang dilakukan perusahaan, dengan tujuan menghindari pajak.

"Ada alat ukur jelas kok namanya kalau tidak salah water meter. Gara-gara tak ada alat ukur jelas, selama ini banyak perusahaan hanya membayar pajak air permukaan dari laporan penggunaan air yang tolak ukurnya tidak jelas, hasil dimanipulasi. Jadi perhitungannya seolah-olah pasif, Pemprov Jabar hanya menerima saja," kata Husin.

Oleh karena itu, kata dia, Komisi III DPRD Jabar meminta Pemprov Jabar segera menindaklanjuti hal tersebut dan mulai dari menindak tegas perusahaan nakal yang menghindari bayar pajak air permukaan. Pemprov juga diminta segera merevisi aturan tarif dasar pajak air permukaan.

Husni juga meminta agar segera berkomunikasi dengan pemerintah pusat terkait kewenangan pengeloaan air permukaan dan segera berinvestasi untuk mengadakan alat ukur jelas dalam perhitungan penggunaan atau pemanfaat air permukaan.

Sehingga target penerimaan PAP sebesar Rp 320 miliar hingga Rp 500 miliar di APBD Perubahan 2020 atau di awal 2021 bisa terealisasi. "Jangan sampai banyak perusahaan yang memanfaatkan air permukaan di Jabar, mengambil keuntungan yang besar tetapi tidak membayar pajak, bahkan hanya membayar pajak dengan nilai yang sangat kecil," kata Husin.

Husin juga menuturkan alasan penerimaan pajak air permukaan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Jabar masih minim dikarenakan adanya perusahaan yang mengakali atau curang terhadap pajak air permukaan dengan berbagai modus.

"Jadi begini salah satu sektor pajak yang jadi primadona adalah pajak air permukaan. Pajak air permukaan ini menjadi kewenangan provinsi sedangkan pajak air tanah itu kewenangan kabupaten dan kota. Tapi disayangkan, selama ini pajak air permukaan belum maksimal. Kenapa? Ya itu banyak faktornya," kata Husin.

Lebih lanjut ia mengatakan modus yang digunakan yakni modus sengaja tidak mengupdate izin ditambah lagi dengan perusahaan sama sekali tak memiliki izin tetapi tetap menggunakan atau memanfaatkan air, dan mereka ini didominasi perusahaan air minum nasional hingga multinasional.

Termasuk, kata dia, usaha perorangan, banyak juga pabrik, perkantoran sampai perusahaan nonperusahaan air minum yang memodifikasi usahanya jadi perusahaan air minum.

"Salah satunya di Garut. Dari 13 perusahaan yang memanfaatkan air permukaan, hanya 3 yang berizin. Sisanya 10 tidak berizin tetapi tetap melakukan operasi dan mereka tidak membayar pajak. Jadi 10 perusahaan tersebut perusahaan daerah dan swasta besar," kata Husin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement