Senin 19 Oct 2020 12:27 WIB

Polemik UU Ciptaker: Seperti Apa Nanti Jokowi Dikenang

Inilah asyiknya sejarah, salah atau benar Jokowi akan ditentukan di masa depan.

Presiden Joko Widodo.
Foto: Dok. Setpres
Presiden Joko Widodo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny JA

“Contohlah Jokowi. Lihatlah determinasinya. Visinya. Ketegasannya ketika berkehendak menerapkan UU Cipta Kerja. Ia tak goyah walau UU itu ditentang banyak pihak. Ia jalan terus walau didemo berhari- hari, berminggu-minggu, berjilid-jilid, di banyak kota.”

“Lihatlah hasilnya kini. Indonesia semakin kompetitif. Investasi semakin tumbuh karena proses usaha semakin mudah. Lapangan kerja semakin terbuka. “

“Ekonomi Indonesia melaju, keluar dari apa yang disebut negara yang stagnan pada status pertumbuhan di level middle income. Middle Income Trap.”

“LIhatlah hasilnya kini. Mereka yang dulu habis habisan menentang UU Cipta Kerja menikmati hasil baik dari UU itu.”

“Jokowi menjadi contoh pemimpin yang kuat, yang menumbuhkan ekonomi. Ia menjadi kasus, yang dipelajari dibanyak kelas-kelas leadership. Ia juga dikutip banyak lembaga dunia ketika menggambarkan determinasi dan visi seorang pemimpin.”

Apa yang saya tuliskan di atas adalah skenario terbaik yang akan kita rasakan mungkin sejak 5 tahun dari sekarang. Tentu masa depan tak terdiri dari satu skenario saja. UU Cipta Kerja dapat pula berakhir buruk bagi Jokowi.

Tapi bukankah seorang pemimpin yang visioner adalah Ia yang memgambil risiko. Cukup bagi Jokowi mendengar pandangan World Bank. Menurut World Bank, UU Cipta Kerja ini membuat Indonesia semakin kompetitif. Pemulihan ekonomi Indonesia akan semakin cepat. (1)

-000-

UU Cipta Kerja akan lebih mudah kita pahami dengan lebih dahulu memahami dua konsep dan resikonya. Pertama: Middle Income Trap. Kedua apa yang saya sebut developmental choice.

Middle income trap istilah untuk negara yang stagnan dengan pertumbuhan ekonomi. World Bank memberi ukuran. Ini untuk negara yang stagnan dengan GNP per capita di level: 1000- 12.000 dolar AS. (2)

Contoh negara yang stagnan di level itu adalah Brazil, Afrika Selatan. Indonesia juga berada dalam level itu.

Apa pun yang dikerjakan pemerintahan di negara itu (kategori middle income trap), GNP per capita tetap stagnan di level 1000-12.000 USD. Semua kelebihan negara menjadi mubazir. Tak maksimal sumber daya alam, bonus demografi, ataupun stabilitas politik yang dimiliki negara tersebut.

Apa yang menjadi penyebab middle income trap? Keseluruhan dunia usaha di negara itu kurang kompetitif. Birokrasi berbelit-belit untuk membangun usaha. Pungutan liar meraja lela. Aturan perburuhan yang menakutkan investasi. Politik yang tak stabil. Dan sebagainya.

Perlu ada penyegaran menyeluruh, reformasi di segala dimensi agar proses investasi dan bisnis menjadi mudah dan sederhana. Inilah mindset di balik “kejar tayang” Omnibus Law UU Cipta kerja.

Sedangkan developmental choice istilah yang saya buat sendiri untuk menggambarkan pilihan kebijakan seorang pemimpin. Itu kebijakan yang menjadikan economic development, kemudahan investasi, kemajuan ekonomi sebagai panglima.

Pilihan kebijakan itu tentu memiliki risiko. Kegaduhan mudah ditangkapnya pengambil kebijakan dikurangi. Akibatnya peran KPK diperlemah. (3)

Aturan buruh dibuat lebih menarik bagi investasi. Jumlah pesangon dikurangi.

Aturan lingkungan hidup juga dibuat lebih moderat agar pengurusan izin usaha lebih efisien. Dengan sendirinya, pemimpin yang bervisi “developmental choice” akan mendapat banyak kritik dan penentang di bidang penanganan korupsi, lingkungan hidup, perburuhan, juga aktivis demokrasi.

Di era pemerintahannya yang kedua, agaknya Jokowi sudah memilih corak leadership dan kebijakannya. Ia tak ingin dikenang sebagai pemimpin yang medioker saja. Jokowi ingin meletakkan fondasi kokoh untuk keluar dari Middle Income Trap melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Semua pilihan tentu mengandung risiko.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement