Senin 19 Oct 2020 13:08 WIB

ISIS Angkat Bicara Sikapi Normalisasi Bahrain-Israel

ISIS mengutuk perjanjian normalisasi antara Israel, Bahrain, dan UEA.

Rep: Umar Mukhtar / Red: Nashih Nashrullah
(Kiri-kanan) Menlu Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, PM Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump, dan Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan usai penandatanganan normalisasi hubungan dengan Israel, Selasa (15/9).
Foto: Jim Lo Scalzo/EPA
(Kiri-kanan) Menlu Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, PM Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump, dan Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan usai penandatanganan normalisasi hubungan dengan Israel, Selasa (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Kelompok Negara Islam Irak Suriah (ISIS) mengutuk perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, dan menyerukan serangan balasan di Arab Saudi. 

 

Baca Juga

Hal ini disampaikan juru bicara ISIS Abu Hamza al-Quraishi dalam rekaman audio yang diposting di Telegram, dilansir di Arutz Sheva, mengutip laporan AFP.

 

Lebih lanjut, Quraishi mengatakan, kesepakatan dengan negara Yahudi yang ditandatangani pada bulan lalu itu sama saja dengan pengkhianatan terhadap Islam. Dia pun mendesak pejuang ISIS dan Muslim lain untuk melakukan serangan anti-Barat di Arab Saudi, negara dengan berbagai situs tersuci bagi umat Islam.

 

Bagi ISIS, Bahrain dan UEA keduanya adalah sekutu Arab Saudi. Saudi hingga saat ini diketahui belum menormalisasi hubungan dengan Israel tetapi dilaporkan bekerja di belakang layar dan memberikan desakan kepada UEA dan Bahrain untuk mencapai kesepakatan masing-masing dengan negara Yahudi tersebut. 

 

Dalam rekaman terakhir ISIS yang dipublikasikan pada Januari lalu, juru bicara ISIS menyerukan serangan terhadap target Yahudi untuk melawan proposal perdamaian Presiden AS Donald Trump untuk Timur Tengah, yang dipresentasikan beberapa hari kemudian.

 

ISIS menyerbu sebagian besar Suriah dan negara tetangga Irak pada 2014. Mereka memproklamasikan "kekhalifahan" di tanah yang dikuasainya. 

 

Sejak itu, beberapa serangan militer, termasuk yang didukung oleh koalisi internasional pimpinan AS, telah menyebabkan ISIS kehilangan sebagian besar wilayah yang pernah dikuasainya.

 

Hal itu juga menyebabkan hilangnya ibu kota de facto mereka, Raqqa, di Suriah. Meski kehilangan kekhalifahan fisik, ribuan pejuang ISIS tetap berada di Irak dan Suriah. Kelompok tersebut terus melancarkan serangannya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement