REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta instrumen lindung nilai atau hedging dapat memenuhi pasar modal Indonesia. Sebab akibat kurangnya instrumen hedging memunculkan sentimen negatif yang membuat investor asing melakukan strategi jual atau sell off.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan saat ini banyak investor asing mengkritik pasar modal Indonesia karena belum memiliki instrumen hedging yang kurang lengkap.
“Mulai dari nilai tukarnya, risiko suku bunga, maupun hedging default, belum begitu banyak. Sehingga investor asing ini kalau ada sentimen negatif, pasti strateginya sell off karena tidak ada hedging yang mumpuni. Kalaupun ada cukup mahal, terutama nilai tukar. Ini adalah tantangan kita bersama,” ujarnya saat konferensi pers virtual Opening Ceremony Capital Market Summit & Expo 2020, Senin (19/10).
Selain instrumen hedging, lanjut Wimboh, instrumen lain juga diharapkan bisa memenuhi pasar modal, sehingga bisa menjangkau investor retail. Sebab sebanyak 73 persen transaksi di pasar saham berasal dari retail.
“Perluasan produk tersebut harus terus dilakukan, agar basis investor retail juga semakin meluas. Apabila jumlah investor retail semakin banyak, maka volatilitas di pasar saham bisa dikendalikan dengan lebih baik,” ucapnya.
OJK pun mengajak para pelaku industri pasar modal untuk mempercepat market akses oleh investor di seluruh Indonesia. Hal ini bukan saja dilakukan di pasar modal, tapi untuk seluruh sektor keuangan termasuk ritel di daerah, sehingga mempercepat inklusi keuangan.
"Berikutnya kita ingin mendorong investasi yang harus bersama-sama kita upayakan bagaimana optimisme pengusaha kita bangun. Kita sudah melakukan banyak hal bagaimana dari sisi demand dan supply benar-benar bangkit," ucapnya.