REPUBLIKA.CO.ID, Virus corona bernama swine acute diarrhea syndrome coronavirus (SADS-CoV) dapat menyerang saluran pencernaan dan menyebabkan sindrom diare akut pada babi. Selain dapat mengancam industri peternakan babi, virus ini juga berpotensi untuk menular ke spesies hewan lain dan menginfeksi manusia.
Hal ini dalam studi yang dilakukan oleh University of North Carolina. Studi yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini mengungkapkan bahwa SADS-CoV mulai menginfeksi kawanan babi di China pada 2016.
Babi yang terinfeksi mengalami gejala seperti diare dan muntah. Sekitar 90 persen bayi babi berusia di bawah lima hari meninggal seteah terinfeksi SADS-CoV.
Virus ini berada dalam keluarga yang sama dengan virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Kedua virus ini diyakini muncul dari kelelawar.
Studi ini dimulai sejak tahun lalu. Ada 14 peneliti University of North Carolina di Capel Hill yang terlibat dalam studi ini. Mereka terdiri dari para ahli epidemiologi, ahli imunologi, dan ahli mikrobiologi.
Studi tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah SADS-CoV dapat menular antarspesies hewan dan menginfeksi manusia. Tim peneliti menilai cara paling masuk akal untuk virus ini berpindah ke manusia adalah melalui kontak, misalnya kontak antara pekerja dan hewan di peternakan babi.
Tim peneliti melihat adanya kemungkinan infeksi pada manusia berdasarkan percobaan yang mereka lakukan. Melalui percobaan ini, SADS-CoV diketahui dapat beradaptasi dan menggunakan sel-sel hati, usus, dan pernapasan manusia sebagai inang mereka.
"Kami tahu virus ini menginfeksi sel manusia," ujar peneliti dari Departemen Ilmu Epidemiologi University of North Carolina Rachel Graham, seperti dilansir South China Morning Post.
Tim peneliti mengungkapkan penelitian ini telah didaftarkan untuk publikasi sejak awal 2020, sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Pandemi Covid-19 yang dengan cepat memengaruhi berbagai negara memberikan penekanan akan penitingnya mengembangkan intervensi untuk virus corona.
Saat ini, China merupakan negara penghasil babi terbesar di dunia. Melihat adanya kemungkinan penularan SADS-CoV pada manusia, tim peneliti merekomendasikan adanya pengawasan lanjutan di China. Pengawasan ini tak hanya berlaku pada hewan, tetapi juga pengawasan terhadap kemunculan penyakit yang tak bisa dijelaskan pada manusia.
"(Mengawasi) apa pun yang tak pernah kita lihat sebelumnya," jelas peneliti dari Departemen Ilmu Epidemiologi dari University of North Carolina Caitlin Edwards.
Akan tetapi, pengawasan seperti ini tentu tidak mudah dilakukan. Salah satu yang menjadi kendala adalah tak ada yang mengetahui penyakit seperti apa yang mungkin terjadi bila SADS-CoV mengenai manusia.
Alpha coronavirus
Sementara itu, peneliti lain mengungkap kurkumin pada kunyit dapat membantu mengeliminasi virus penyebab transmissible gastroenteritis virus (TGEV) yang dapat menular pada anak babi.
Virusnya termasuk ke dalam genus alpha coronavirus yang menginfeksi babi. Gejala infeksi TGEV yang umum terjadi adalah diare dan muntah.
Menurut studi dalam Virology Journal pada 2018, ketika virus menyebabkan diare, kondisi ini akan menyebabkan 100 persen mortalitas atau kematian pada anak babi berusia di bawah dua pekan.
Hingga saat ini, tak ada obat yang dapat digunakan untuk mengobati binatang yang sudah terinfeksi TGEV. Meski vaksin sudah tersedia untuk TGEV, penyebaran virus tak bisa dicegah.
Oleh karena itu, penyakit transmissible gastroenteritis ini menjadi masalah besar di industri peternakan babi dunia. Berdasarkan masalah ini, tim peneliti dari Wuhan Intitute of Bioengineering berupaya untuk mencari jalan keluar. Salah satunya dengan meneliti kurkumin untuk mengukur sifat antivirus pada senyawa tersebut dalam seuah penelitian in vitro.
Seperti diungkapkan dalam Journal of General Virology, kurkumin dalam konsentrasi tinggi dapat mengurangi partikel virus pada kultur sel. Kultur sel merupakan proses di mana sel-sel ditumbuhkan di bawah kondisi yang terkontrol.
Kurkumin bisa mempengaruhi TGEV melalui tiga cara, salah satunya adalah membunuh virus secara langsung sebelum virus tersebut menginfeksi sel. Cara kedua adalah berintegrasi dengan bagian envelope (selubung) virus untuk "menonaktifkan" virus. Cara ketika adalah mengubah metabolisme sel untuk mencegah masuknya virus tersebut.
"Kurkumin memiliki sifat penghambat yang signifikan terhadap adsorpsi TGEV dan efek inaktivasi langsung tertentu," ujar ketua tim peneliti Dr Lilan Xie, seperti dilansir Health24.
Temuan ini menunjukkan bahwa kurkumin memiliki potensi besar dalam pencegahan infeksi TGEV. Kurkumin juga telah terbukti dapat menghambat replikasi virus lain seperti virus dengue, hepatitis B, dan virus Zika.
"Ada kesultian besar dalam mencegah dan mengontrol penyakit yang disebabkan virus, tertuama ketika tidak ada vaksin yang efektif," jelas Dr Xie.
Tentu penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk membuktikan manfaat kurkumin terhadap pencegahan infeksi TGEV. Oleh karena itu, tim peneliti akan melakuakn penelitian //in vivo// dengan menggunakan hewan coba.
"Studi lebih lanjut dibutuhkan utnuk mengevaluasi efek penghambat //in vivo// dan mengeksplorasi mekanisme potensial dari kurkumin dalam melawan TGEV," jelas Dr Xie.