Senin 19 Oct 2020 17:22 WIB

PTPN Holding Minta Pemerintah Cabut Moratorium Sawit

Sawit menjadi satu komoditas yang akan diprioritaskan PTPN dalam lima tahun kedepan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Perkebunan Sawit
Perkebunan Sawit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Holding meminta pemerintah agar mencabut moratorium pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang tengah diberlakukan. Pasalnya kebijakan itu menjadi tantangan industi sawit untuk meningkatkan produksi demi mendukung upaya diversifikasi energi berbasis nabati.

"Pemerintah sebaiknya segera membuka moratorium kelapa sawit terutama untuk di area-area dengan kandungan gambut tertentu," kata Direktur Utama PTPN III Holding, Mohammad Abdul Ghani dalam sebuah webinar yang digelar Markplus Inc, Senin (19/10).

Baca Juga

Ia mengatakan, sawit menjadi satu dari dua komoditas yang akan diprioritaskan PTPN dalam lima tahun ke depan. Alasan diprioritaskannya sawit karena dapat digunakan sebagai bahan baku energi bahan bakar biofuel.

Di satu sisi, peningkatan penggunaan sawit dalam negeri demi menghindari masalah fluktuasi harga pasar global karena mayoritas sawit saat ini untuk ekspor.

Lebih lanjut, Ghani menjelaskan, dalam lima tahun terakhir, harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit hanya berkisar Rp 6.600 per kg. Adapun saat ini mulai meningkat lebih dari Rp 8.000 per kg. Menurut dia, naiknya harga tak begitu menggembirakan bagi industri karena sifatnya yang fluktuasi.

"Mencermati itu, ke depan seharusnya ketergantungan bahan bakar (impor) disubstitusi dengan penggunaan biofuel dari kelapa sawit," kata dia.

Pihaknya meyakini, dengan meningkatnya penetrasi sawit untuk pemenuhan energi, impor bahan bakar minyak saat ini bisa di tekan. Sebagaimana diketahui, produksi minyak bumi saat ini rata-rata sebesar 800 ribu barel per hari sedangkan kebutuhan telah mencapai 1,5 juta barel per hari.

Ghani mengatakan, dari lahan perkebunan sawit saat ini sekitar 14 juta ha, masih terdapat potensi diperluas hingga 20 juta ha. Namun perluasan area itu harus dibarengi dengan peremajaan sawit agar produktivitas dapat meningkat dari posisi saat ini sebanyak 2 ton minyak per ha menjadi 4 ton per ha.

"Kalau sekarang produk CPO dan turunannya 80 persen diekspor, maka ke depan harus dibalik dengan meningkatkan konsumsi biofuel," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement