Senin 19 Oct 2020 18:06 WIB

Hubungan Juru Selamat dalam Mitologi Yahudi dan Zionisme

Juru Selamat menjadi bagian tak terlepaskan dalam mitologi Yahudi.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Juru Selamat menjadi bagian tak terlepaskan dalam mitologi Yahudi. Zionisme (ilustrasi).
Foto: Panoramio.com
Juru Selamat menjadi bagian tak terlepaskan dalam mitologi Yahudi. Zionisme (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Sejarawan Prancis, Roger Garaudy (1913-2012), menjelaskan di dalam bukunya, The Case of Israel, genealogi ideologi zionisme sehubungan dengan klaim kekuasaan atas Yerusalem. Sebelumnya, Garaudy menegaskan, perbedaan antara zionisme sebelum dan sesudah gerakan yang diinisiasi Theodor Herzl (meninggal 1904).

Sejak berabad-abad lamanya, para mistikus Yahudi menyakini adanya harapan besar tentang Juru Selamat pada akhir zaman di Bukit Zion, Yerusalem. Zionisme keagamaan ini memunculkan suatu tradisi ziarah ke Yerusalem tanpa berintensi untuk menduduki kota suci tersebut.

Baca Juga

Namun, Herzl menyusun suatu ideologi politik yang mengatasnamakan kerinduan zionisme keagamaan akan datangnya Juru Selamat. Sejak 1882, mantan jurnalis itu telah menyebarkan gagasannya di Wina, Austria, serta kepada para tokoh Yahudi di Eropa. 

Empat belas tahun kemudian, dia menerbitkan buku Der Judenstaat yang menjadi rujukan ideologis dalam Kongres Zionis Sedunia yang pertama di Basel, Swiss, pada 1897.

Menurut Garaudy, zionisme gagasan Herzl ini sama sekali berbeda daripada kerinduan mistikus Yahudi. Sebab, ideologi ini menegaskan perlunya pendirian Negara Yahudi di atas sebuah daerah kosong, yakni Palestina yang berpusat pada Yerusalem. 

Dua hal kunci dapat ditarik dari gagasan Herzl. Pertama, nasionalisme yang anti-keberagaman. Herzl membangkitkan kesadaran ultranasionalis kaum Yahudi yang hidup tersebar di penjuru dunia. Baginya, mereka hidup dalam ketidakpastian karena tidak punya tanah air. Herzl juga menolak asimilasi Yahudi dengan masyarakat tempatan (non- Yahudi) dan lebih menyukai gagasan negara Yahudi. 

Kedua, kolonialisme. Herzl memandang tanah Yerusalem dan sekitarnya sebagai daerah yang kosong, meskipun pada faktanya orang-orang Palestina telah lama menghuni daerah tersebut secara legal. Pandangan ini merupakan ciri khas penjajahan yang melihat masyarakat tempatan sebagai bukan manusia, sehingga pantas diusir.  

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement