REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono menyatakan, belum ada perkembangan terbaru dari kasus penangkapan sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Maka dengan demikian hingga saat ini penyidik belum menemukan adanya indikasi keterlibatan KAMI secara organisasi dalam kasus penghasutan di media sosial.
"Masih yang tersangka kemarin, belum ada perkembangan keterlibatan terhadap kelompok tertentu (KAMI)," tegas Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (19/10).
Sebelumnya, Bareskrim Polri telah menahan tiga petinggi KAMI. Ketiganya adalah Syahganda Nainggolan, Anton Permana dan Jumhur Hidayat. Mereka ditangkap lantaran diduga melakukan pengahasutan yang memicu kerusuhan dalam aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja. Jumhur Hidayat misalnya disalahkan polisi karena meunggah, “UU ini memang untuk primitive investor dari RRC dan pengusaha rakus.”
Sedangkan, Anton Permana ditangkap Tim Siber Mabes Polri karena yang bersangkutan memosting di Facebook dan Youtube-nya. Yaitu menulis "Mulitifungsi Polri melebihi dwi fungsi ABRI yang dulu kita caci maki” dan menulis, "NKRI jadi negara kepolisian republik Indonesia". Anton juga menulis "UU Cipta Kerja bukti negara ini telah dijajah". "Negara sudah dikuasai cukong".
Tidak hanya tiga orang petinggi KAMI, aparat penegak hukum juga menangkap sebanyak lima orang aktivis KAMI yang ditangkap dalam waktu yang berbeda itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Kelima Khairil Amri selaku Ketua KAMI cabang Medan, Devi, Juliana dan Wahyu Rasari Putri. Setali tiga uang, alasan mereka diringkus Polisi, yaitu terkait postingan di media sosial. Sebagai contoh, Khairi Amri memosting foto kantor DPR dan ia menulis, "Dijamin komplit kantor sarang maling dan setan. Dia juga menulis, “Kalian Jangan Takut dan Jangan Mundur.”
Untuk kelima tersangka tersebut dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja. Hal itu termaktub dalam pasal 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP. Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.