REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua PP Muhammadiyah KH Anwar Abbas menilai agar Indonesia terhindar ke dalam jurang resesi, diperlukan kembali menengok pandangan ekonomi Bapak Bangsa: Bung Hatta.
Menurut Anwar Abbas, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam jurang negatif dalam dua kuartal secara berturut-turut. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di Kuartal I 2020 tercatat hanya mencapai 2,97 persen atau mulai mengalami perlambatan parah sejak didera pandemi Covid-19. Sedangkan pada Kuartal II, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang minus 5,32 persen.
Fakta itu, kata Anwar,telah menyebabkan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran, dan kemiskinan di Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan masa atau periode sebelumnya, menurut dia, pertumbuhan ekonomi dari fakta dua kuartal tersebut jelas merupakan kemunduran yang luar biasa.
Bahkan akibat dari kemunduran dan dalamnya krisis ini, lanjutnya, dia pesimis Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf belum tentu bisa memulihkan pertumbuhan ekonomi Indonesianya dalam waktu dekat.
“Atau bahkan (sulit memulihkannya) sampai habis periode masa bakti di tahun 2024 nanti,” kata Anwar yang juga Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Tapi meskipun data dan faktanya sedemikian rupa buruk, dia pun tidak serta-merta menyimpulkan apalagi menyalahkan bahwa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf telah gagal. Dia meyakini bahwa siapapun yang menjadi pemimpin di negeri ini sekarang pasti juga tidak akan mampu menghindari perlambatan ekonomi yang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan Covid-19.
Sebab, pandemi Covid-19 tidak hanya melanda dan merontokkan ekonomi negeri ini tapi juga telah melanda dan merontokkan ekonomi negara-negara lain di dunia. Termasuk ekonomi dari negara-negara superpower seperti Amerika dan negara-negara Eropa, hingga Cina.
Untuk itu dia melihat bahwa pandemi Covid-19 merupakan satu pelajaran berharga yang dapat diambil hikmah dan pelajarannya. Sebab dari peristiwa ini, kata dia, setidaknya umat bangsa harus selalu siap siaga dalam menghadapi krisis. Agar setiap terjadi krisis yang melanda, bangsa Indonesia tidak terlalu kaget dan terpukul lebih dalam.
Dia pun mengajak umat bangsa untuk mengingat kembali istilah yang pernah dilontarkan Bung Hatta yang menyatakan bahwa Indonesia harus benar-benar bisa membuat dan membenahi ekonomi nasional dengan memperbesar tenaga beli rakyat.
“Produksi yang kita lakukan harus ditujukan pertama-tama dan utama adalah untuk kepentingan ke dalam negeri dulu. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Ini bukan berarti ekspor tidak penting, tapi sifat dari ekspor itu yang berubah dari sebagai tujuan yang pertama dan utama menjadi bertujuan untuk membayar impor dari barang-barang yang kita perlukan untuk pembangunan,” ujarnya.
Sebab menurutnya, sebagaimana disaripatikan dari pandangan ekonomi Bung Hatta, dalam konsep tersebut maka akan terjadi tekanan bagaimana bangsa Indonesia bisa menghasilkan barang-barang keperluan hidup sendiri yang bahannya terdapat di Tanah Air sendiri. Sedangkan apa yang tidak dapat Indonesia hasilkan sendiri itulah,lanjutnya, yang baru bisa didatangkan dari luar negeri untuk menggenapkan keperluan rakyat dan negara yang dapat dibayar dengan ekspor.
Untuk itu dalam hal yang terkait dengan impor ala Bung Hatta, dia menjabarkan, Indonesia harus bisa melakukan perubahan di mana impor barang-barang konsumsi harus diperkecil berangsur-angsur dan impor barang-barang produksi seperti mesin dan alat untuk bekerja lainnya diperbesar yang dibayar dengan barang-barang ekspor. Untuk itu ke depannya dia berharap, kondisi ekonomi negeri ini dapat menjadi kuat dan tangguh di tengah-tengah kehidupan ekonomi global.
Menkeu Optimistis
Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ekonomi Indonesia sudah menunjukkan tren pemulihan pada kuartal ketiga tahun ini. Perbaikan sudah mulai terlihat sejak kuartal kedua meski sebagian besar masyarakat masih beraktivitas dari rumah atau work from home (WFH).
"Kalau kita lihat mobilitas masyarakat kelihatan bahwa sudah terjadi tren perbaikan pada bulan antara Juli sampai dengan Agustus dan bertahan di bulan September," kata Sri dalam acara Capital Market Summit Expo (CMSE), Senin (19/10).
Sri berharap, momentun pemulihan ini dapat terus terjaga. Sri mengakui pengetatan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta pada pertengahan September lalu memberikan dampak terhadap beberapa aktivitas ekonomi sehingga tren perbaikan sempat melemah.
Dalam situasi saat ini, Sri mengatakan, kondisi perekonomian di Indonesia masih relatif cukup baik. Sebagai perbandingan, sebagian besar negara-negara di Eropa mengalami kontraksi bahkan di atas 20 persen pada kuartal kedua. Spanyol tumbuh minus 21,1 persen dan Inggris kontraksi 21,7 persen.
Di kuartal ketiga, Spanyol diproyeksi masih akan terkontraksi di atas 12 persen sedangkan Inggris terkontraksi di atas 10 persen. Di deretan negara tetangga, pertumbuhan ekonomi juga mengalami kontraksi yang lebih dalam dari Indonesia.
Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina mengalami kontraksi di atas 10 persen. Untuk kuartal ketiga, negara-negara tersebut masih menghadapi kontraksi yang sangat dalam di atas 4 persen.
Sri optimistis ke depannya tren perbaikan di Indonesia akan terus berlanjut. Ia memproyeksikan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga masih akan terkoreksi dalam kisaran minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Meski demikian, pertumbuhan tersebut akan lebih baik dibandingkan kuartal kedua yang kontraksi 5,3 persen.
"Kita relatif dalam situasi yang cukup baik meskipun ini tentu tidak membuat kita terlena. Kita tetap berusaha untuk mengembalikan perekonomian kita kepada zona positif," tutur Sri. Covid-19.
"Satu-satunya komponen yang bisa menggenjot PDB adalah belanja pemerintah. Itu sebabnya negara harus melakukan stimulus fiskal dengan melakukan pengeluaran lebih besar dari biasanya," ujar Moekti.