REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang abad ke-19 dan 20, berbagai tarekat memainkan peran penting dalam memengaruhi respons kaum Muslim, baik terhadap Barat atau situasi internal kaum Muslim.
Kenyataan itu paling terlihat jelas di Afrika. Salah satunya, gerakan jihad melawan kedatangan dan ekspansi kolonial Prancis yang dipimpin oleh Amir Abd al-Qadir dari Aljazair. Gerakan ini didukung penuh oleh Tarekat Mukhtariah, cabang dari Tarekat Qadiriah.
Bermula pada 1830, ketika Prancis menyerbu Aljazair, Abd al-Qadir memimpin perlawanan selama 13 tahun. Ia tertangkap pada 1847, namun para pengikutnya terus mengadakan perlawanan hingga 1904. Perlawanan juga dilakukan Haji Umar Tal dari Tarekat Tijaniyah selama 1855-1864. Gerakan ini meliputi wilayah Guinea, Senegal, dan Mali, melawan penguasa non-Muslim Afrika dan Prancis.
Masih di Afrika, gerakan dilancarkan Syekh Muhammad Abdullah Hasan, yang oleh kolonialis disebut Mad Mullah karena kegilaannya melawan kolonialisme Inggris dan Italia di Somalia selama lebih dari dua dekade (1899-1920). Gerakan ini disokong penuh oleh Tarekat Sahiliyah. Perlawanan itu tidak hanya melibatkan Inggris, tapi juga Etiopia dan Italia setelah Inggris angkat kaki dari Somalia pada 1905.
Yang lebih menarik, Tarekat Sanusiyah di Libya. Tarekat Sanusiyah didirikan di Makkah pada 1837 oleh Sidi Muhammad bin Ali as-Sanusi, kemudian menyebar ke Libya dan sekitarnya. Tarekat Sanusiyah di Libya berkembang menjadi alat pemersatu masyarakat. Van Bruinessen menuturkan, orang Badui di Libya terdiri atas sejumlah suku yang saling bertikai. Karena itu, Syekh Muhammad as-Sanusi biasanya mendirikan zawiyah di perbatasan antara wilayah dua atau tiga suku supaya pengikutnya tidak terdiri dari satu suku saja.
Pada awal abad ke-20, tarekat ini memiliki ratusan zawiyah di kawasan Gurun Sahara sampai Timbuktu. Kedudukan tarekat Sanusiyah tidak terusik sampai kedatangan Prancis dan Italia ke Libya pada 1911. Menjalin afiliasi dengan Turki Utsmani, perlawanan pun dilancarkan terhadap pasukan kolonial.
Guru-guru tarekat mempersatukan dan mengoordinasikan semua suku Badui. Negara Libya modern merupakan hasil perjuangan tarekat Sanusiyah. Pergolakan politik usai Perang Dunia II menempatkan Sayid Muhammad Idris sebagai penguasa Libya.
Perlawanan juga terjadi di kawasan Asia Tengah dan Kaukasus. Amjad Jaimoukha dalam The Chechens: A Handbook mencatat, tarekat yang paling berkembang di Kaukasus Utara adalah Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Sementara, pengikut Naqsyabandiyah terkonsentrasi di timur Chechnya, Qadiriyah mendominasi di bagian barat Chechnya dan Ingushetia.
Tarekat Naqsyabandiyah menjadi kekuatan utama di balik perlawanan Muslim pada paruh pertama abad ke-19. Di bawah pimpinan Syekh Mansyur Usyurma, gerakan jihad melawan ekspansi Rusia dilakukan oleh para pengikut tarekat ini antara 1782-1791. Ia mendapat dukungan luas di Daghestan Utara dan Chechnya. Kaum tarekat berhasil mematahkan gerakan pasukan Rusia di Sungai Sunzha pada 1785.
Tertangkapnya Syekh Usyurma tak membuat perlawanan ini lemah. Pada 1820-an, kaum tarekat kembali melancarkan perlawanan di bawah pimpinan Syekh Muhammad Effendi, ulama asal Turki Utsmani. Gerakan ini bertahan hingga 1860. Tarekat Qadiriyah di wilayah ini juga melancarkan pemberontakan yang kemudian dikenal dengan 'Revolusi Daghestan dan Chechnya' pada 1877-1878. Hingga awal abad ke-20, kedua tarekat ini berulang kali mengadakan perlawanan.
Khawatir dengan gerakan kedua tarekat ini, Rusia sampai mengeluarkan pelarangan terhadap Tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Tapi, itu tidak banyak berarti karena para pengikut tarekat tetap menjalankan aktivitas di bawah tanah. Selain perjuangan kemerdekaan, sufisme juga mengembangkan budaya literasi di Kaukasus Utara.
Perlawanan kaum tarekat melawan Rusia juga terjadi di Azerbaijan, Turkmenistan, dan Kirghistan. Sejak 1918, di wilayah ini muncul gerakan Basmachi Naksyabandi. Gerakan ini berhasil ditumpas Tentara Merah Rusia pada 1928, tetapi penumpasan itu malah mendorong politisasi lebih kuat di kelompok tarekat. Gerakan serupa muncul di kawasan Asia Tengah lain, khususnya yang berada di bawah kekuasaan Cina. Pada 1817, kaum Tarekat Naqsyabandiyah di wilayah Xinjiang melancarkan perlawanan terhadap kekuasaan Dinasti Qing. Kemudian, di daerah Shanxi dan Gansu pada 1862.