REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT MRT Jakarta mengusulkan kepada Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) agar melibatkan kontraktor internasional, selain Jepang terkait kegagalan tender pada Segmen 2 (Harmoni-Kota).
Menurut Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar, dalam tender paket CP 202 (pembangunan rute Harmoni-Mangga Besar), CP 205 (pengerjaan sistem serta elektrik perkeretaapian dan rel), dan CP 206 (pengadaan rolling stock atau kereta) tendernya kerap mengalami jalan buntu.
"Pengerjaan MRT Fase II dibiayai JICA dalam skema special terms for economic partnership (tied loan) sehingga sangat terikat dengan kriteria kontraktor utama harus berasal dari Jepang. Namun demikian, ternyata kontraktor Jepang terlalu konservatif dan tidak siap untuk mengambil risiko pembangunan di area Fase II," kata William dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin (19/10).
"Jika minat pelaku industri di Jepang kurang, maka opsi pengadaan melibatkan kontraktor internasional lainnya dari luar Jepang kiranya dapat dibuka," ujar William menambahkan.
Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta, Silvia Halim, menyebutkan, keengganan perusahaan dan kontraktor Jepang untuk menggarap proyek MRT Fase II ini terlihat dalam paket CP 202 untuk pembangunan jalur bawah tanah Harmoni-Mangga Dua. Pihaknya meminta kontraktor mengerjakannya dengan empat tunnel boring machine (TBM).
Tapi mereka hanya menyanggupi dua TBM. Alasannya, kata dia, karena mereka juga memiliki proyek di Filipina, Thailand, dan Myanmar. Hal itu tentu memperpanjang proses. Padahal, pembangunan dibutuhkan cepat mengingat kompleksitas kawasan yang padat dan banyak bangunan bersejarah.
"Lalu mereka keberatan dengan jadwal ketat 57 bulan, kami ubah bahkan jadi 74 bulan, kami lakukan modifikasi dalam tender yang ditawarkan berdasarkan input dari kontraktor, akhirnya kami harus kecewa karena tidak ada yang menawar padahal sudah memasukan usulan mereka," kata Silvia.
Kemudian untuk paket pekerjaan CP 205, yakni pengerjaan sistem serta elektrik perkeretaapian dan rel berpotensi mengalami kegagalan tender jika sampai 26 Oktober 2020 tidak ada yang melakukan penawaran.
Sebelumnya tender telah diperpanjang tiga kali, kemudian para kontraktor mengungkapkan tidak siap menanggung risiko interfacing (keterhubungan jadwal dan area kerja antara sistem sipil dan railway system). Berikutnya, mereka tetap meminta perpanjangan tenggat waktunya sampai 26 Desember 2020 yang bisa membuat jadwal mundur lagi.
Untuk CP 206, yakni pengadaan rangkaian kereta, Silvia menyebutkan, manufaktur dan perusahaan dagang Jepang menyatakan ketidaktertarikannya karena jumlah yang diajukan oleh MRT sebanyak 14 rangkaian (gabungan Fase IIA dan IIB) terlalu sedikit. "Mereka juga menyebut memiliki pesanan dari berbagai negara hingga AS. Bahkan mereka melayani pesanan 300 kereta," kata Silvia.
Agar proyek Fase IIA ini dapat berjalan lancar, William menyebut, pemerintah Indonesia dan Jepang harus terus melakukan koordinasi dan penjajakan tingkat tinggi. Harapannya, kata dia, pemerintah Jepang lebih kuat lagi mendorong pelaku industri perkeretaapiannya untuk terlibat dalam proyek MRT Jakarta Fase IIA ini.
"Jika minatnya kurang ya opsi pengadaan melibatkan kontraktor internasional lainnya dari luar Jepang kiranya dapat dibuka dan disetujui bersama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Jepang," tutur William.
Hingga saat ini, tutur William, telah banyak kontraktor yang mendekati untuk terlibat proyek MRT, mulai dari China, Korea Selatan, Inggris, dan juga kontraktor dalam negeri, yaitu Wijaya Karya.