REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi berskala besar yang dibiayai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa remdesivir tidak begitu membantu pasien Covid-19. Temuan ini bertolak belakang dengan klaim dari studi-studi berskala lebih kecil yang telah lebih dulu dilakukan.
Dalam studi-studi yang sudah dilakukan lebih awal, remdesivir dikatakan dapat mendorong pasien Covid-19 pulih lebih cepat. Studi-studi ini mendorong FDA untuk memberikan otorisasi penggunaan darurat untuk obat antivirus tersebut dalam penanganan pasien Covid-19 di Amerika Serikat.
Akan tetapi, hasil yang sama tak ditemukan dalam studi berskala besar yang dibiayai oleh WHO. Studi yang dilakukan sejak 22 Maret hingga 4 Oktober ini melibatkan 11.330 pasien dari 405 rumah sakit di 30 negara.
Para pasien dalam studi ini mendapatkan obat remdesivir, hydroxychloroquine, lopinavir, dan interferon secara tunggal atau kombinasi. Menurut tim peneliti, regimen obat ini menunjukkan efek yang kecil atau bahkan tanpa efek ketika diberikan kepada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
"Yang ditunjukkan melalui keseluruhan mortalitas, inisiasi ventilasi, dan durasi rawat inap," jelas tim peneliti, seperti dilansir WebMD, Selasa (20/10).
Temuan terbaru ini telah diunggah dalam server pracetak medRxiv. Akan tetapi, temuan baru dari studi berskala besar ini belum mendapatkan peninjauan sejawat atau dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Terkait temuan baru ini, perusahaan farmasi pembuat remdesivir Gilead Sciences memberikan pembelaan. Menurut Gilead Sciences, studi terkontrol yang telah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal yang mendapatkan peninjauan sejawat telah memvalidasi manfaat dari obat tersebut.
Gilead Sciences jutru mempertanyakan bagaiman studi terbaru ini dilakukan. Menurut Gilead Sciences, studi terbaru ini memiliki beragam variasi dalam adopsi eprcobaan, implementasi, kontrol, dan populasi pasien.
"Tak jelas apakah ada temuan konklusif yang bisa diambil dari hasil-hasil studi tersebut," jelas Gilead Sciences.
Remdesivir sendiri sebelumnya dikembangkan untuk mengobati Ebola. Di masa pandemi ini, obat tersebut digunakan untuk keperluan lain yaitu mengatasi infeksi virus corona.
Associate research professor dari Departemen Ilmu Mikrobiologi dan Imunologi di Georgetown University Julie Fischer menilai temuan terbaru ini memunculkan kekecewaan. Fischer menilai ada banyak orang yang berharap bahwa obat yang sudah ada seperti remdesivir dapat menjadi "magic bullet" untuk merawat pasien secara aman dan efektif.
"Sayangnya, dalam hal ini, percobaan ini setidaknya menunjukkan abhwa manfaat dari remdesivir mungkin tidak ada," ujar Fischer.
FDA telah memberikan otorisasi penggunaan darurat pada remdesivir pada April 2020. Saat itu FDA mengatakan informasi mengenai keamanan dan efektivitas penggunaan remdesivir dalam menangani pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit memang masih terbatas. Akan tetapi, uji klinis menunjukkan bahwa penggunaan obat ini dapat memperpendek masa pemulihan pada sebagian pasien.
Uji klinis terhadap sekitar 1.000 pasien yang dilakukan National Institutes of Health (NIH) juga menemukan bahwa remdesivir dapat memperpendek masa pemulihan pada sekitar 31 persen pasien. NIH juga menyatakan bahwa angka mortalitas pasien Covid-19 yang mendapatkan remdesivir lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
"Dengan tingkat mortalitas 8 persen pada kelompok yang menerima remdesivir dibandingkan dengan 11,6 persen pada kelompok placebo," pungkas NIH.