Rabu 21 Oct 2020 03:30 WIB

Polusi Udara Terkait dengan Risiko Penyakit Neurologis

Bukti terkait masalah kesehatan ini semakin banyak muncul saat kebakaran hutan AS.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Langit Jakartadiselimuti polusi udara.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Langit Jakartadiselimuti polusi udara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa udara yang dihirup setiap hari dapat merusak otak. Laporan yang diterbitkan di Lancet Planetary Health pada Senin (19/10) menemukan bahwa polusi udara secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko seseorang dirawat di rumah sakit karena beberapa gangguan neurologis, termasuk penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, dan demensia lainnya.

Dalam studi yang dilakukan selama 17 tahun dan melibatkan lebih dari 63 juta orang dewasa berusia lebih tua di Amerika Serikat (AS), para ilmuwan secara khusus melihat partikel polusi halus yang disebut partikel bardiameter 2,5 mikron atau kurang. Xiao Wu, salah satu penulis utama studi ini dan seorang mahasiswa doktoral di bidang biostatistik di Harvard TH. Chan School of Public Health mengatakan, partikel-partikel ini berasal dari lokasi konstruksi, jalan tak beraspal, ladang, cerobong asap, dan kebakaran.

Baca Juga

"Sebagian besar partikel terbentuk di atmosfer sebagai hasil dari reaksi kompleks bahan kimia seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida, yang merupakan polutan yang dipancarkan dari pembangkit listrik, industri, dan mobil," ujar Wu, dilansir USA Today, Selasa (20/10).

Partikel ini dianggap aman oleh standar kualitas udara ambien nasional Badan Perlindungan Lingkungan AS, selama seseorang menghirup rata-rata 12 mikrogram per meter kubik udara atau kurang per hari selama satu tahun. Namun, studi jangka panjang mempertanyakan pedoman ini.

"Studi kami di seluruh AS menunjukkan bahwa standar saat ini tidak cukup melindungi penduduk Amerika yang menua, menyoroti kebutuhan akan standar dan kebijakan yang lebih ketat yang membantu mengurangi konsentrasi PM2.5 lebih lanjut dan meningkatkan kualitas udara secara keseluruhan,” jelas Antonella Zanobetti, rekan senior penulis studi dan ilmuwan peneliti utama di Departemen Kesehatan Lingkungan Harvard Chan School.

Setiap lima tahun, Clean Air Act mewajibkan EPA untuk meninjau ilmu pengetahuan yang relevan dan memperbarui standar kualitas udara jika perubahan diperlukan untuk melindungi kesehatan publik dengan margin keselamatan yang memadai. Dalam sebuah pernyataan, EPA mengatakan, sebagai hasil dari program Clean Air Act dan upaya pemerintah negara bagian, lokal dan kesukuan serta peningkatan teknologi, AS telah membuat peningkatan besar dalam kualitas udara.

"Selama Pemerintahan AS dipimpin oleh Presiden Donald Trump, kriteria emisi polutan udara telah turun 7 persen, yang merupakan kualitas udara terbaik yang pernah tercatat," kata EPA dalam pernyataan tersebut lebih lanjut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan paparan materi partikulat halus diperkirakan telah menyebabkan 4,2 juta kematian dini di seluruh dunia pada 2016. Badan tersebut mengatakan hal itu dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular dan pernapasan serta kanker.

Namun, ini adalah analisis AS nasional pertama yang menghubungkan partikel polusi halus dan penyakit neurodegeneratif, menurut peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, Emory University's Rollins School of Public Health, dan Columbia University’s Mailman School of Public Health.

Studi ini mengikuti penelitian dari University of North Carolina Gillings School of Global Public Health yang diterbitkan pada bulan Februari yang menemukan materi partikulat halus dikaitkan dengan depresi dan kerusakan otak, termasuk kehilangan memori dan penuaan yang dipercepat terutama di kemudian hari.

William Vizuete, profesor di departemen ilmu lingkungan dan teknik yang ikut memimpin studi UNC mengatakan, sementara studi baru mungkin terbatas pada ansambel model kualitas udara yang hanya dapat memperkirakan tingkat keterpaparan. Ia juga mempertanyakan apakah standar EPA saat ini melindungi populasi yang lebih tua.

“Bukti baru ini tampaknya menyarankan bahwa kita mungkin perlu melihat apakah kita melindungi semua orang dan dalam jangka panjang,” jelas Vizuete.

Bukti terkait masalah kesehatan ini semakin banyak muncul saat kebakaran hutan berkobar di Colorado, kejadian yang memaksa ribuan orang mengungsi dari rumah mereka. Musim kebakaran hutan tahun ini juga melanda sebagian Kalifornia dan Oregon.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement