Rabu 21 Oct 2020 01:30 WIB

Diancam Penjara Akibat Perang Narkoba, Duterte tak Ciut

Duterte dianggap bertanggung jawab atas kematian hampir 6.000 tersangka narkoba.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Reiny Dwinanda
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memperpanjang masa karantina wilayah atau lockdown hingga 30 April 2020.
Foto: AP
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memperpanjang masa karantina wilayah atau lockdown hingga 30 April 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan dia tidak keberatan untuk dimintai pertanggungjawaban atas banyaknya pembunuhan untuk program anti narkobanya. Ia mengaku siap untuk menghadapi dakwaan yang dapat membuatnya dipenjara demi menekan kasus narkoba.

Pernyataan Duterte yang disiarkan televisi pada Senin (19/10) malam waktu setempat adalah salah satu pengakuannya yang paling jelas tentang prospek menghadapi banjir tuntutan pidana atas kampanye berdarah yang dia luncurkan setelah menjabat pada pertengahan 2016. Hingga kini, hampir 6.000 kasus pembunuhan tersangka narkoba telah dilaporkan oleh polisi, bahkan jumlahnya diperkirakan lebih dari itu menurut lembaga hak asasi manusia.

Baca Juga

"Jika ada pembunuhan di sana, saya akan mengatakan bahwa saya adalah orangnya. Anda dapat meminta pertanggungjawaban saya atas apa pun, kematian apa pun yang terjadi dalam pelaksanaan perang narkoba. Jika Anda terbunuh itu karena saya marah dengan obat-obatan," kata kata Duterte dilansir Associated Press, Selasa (20/10).

 

Duterte mengaku melakukan hal tersebut demi melindungi rakyat dari bahaya narkoba. “Jika itu yang saya katakan, bawa saya ke pengadilan untuk dipenjara, saya tidak ada masalah. Jika saya harus melayani negara saya dengan masuk penjara, maka saya melakukannya dengan senang hati," ungkapnya.

Setidaknya dua pengaduan atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembunuhan massal sehubungan dengan kampanye Duterte sedang diperiksa oleh jaksa Pengadilan Kriminal Internasional. Hal ini akan menentukan apakah ada cukup bukti untuk membuka penyelidikan skala penuh.

Duterte menanggapi keluhan tersebut dengan menarik Filipina dari pengadilan dunia dua tahun lalu dalam sebuah langkah yang menurut kelompok hak asasi manusia sebagai kemunduran besar dalam perjuangan negara melawan impunitas. Jaksa ICC mengatakan pemeriksaan pembunuhan tersangka narkoba akan terus berlanjut meskipun Filipina menarik diri.

Duterte malah bertanya kepada orang-orang yang mengatakan pembunuhan atas kasus narkoba juga menyangkut hak asasi manusia. "Sejak kapan narkoba menjadi kemanusiaan?" katanya.

Menurut Duterte, narkoba merupakan ancaman keamanan nasional, seperti pemberontakan komunis selama puluhan tahun yang wajib ditumpas oleh pemerintah.

“Jika ini dibiarkan terus menerus dan jika tidak ada tindakan tegas yang diambil terhadap mereka, itu akan membahayakan keamanan negara,” katanya.

"Ketika Anda menyelamatkan negara Anda dari kehancuran orang-orang seperti NPA dan obat-obatan, Anda melakukan tugas suci," tambahnya, mengacu pada pemberontak Tentara Rakyat Baru komunis.

Duterte mengeklaim ada 1,6 juta pecandu narkoba di Filipina, mengutip statistik dari badan anti-narkotika. Angka tersebut jauh lebih kecil dari 4 juta pecandu pada awal masa kepresidenannya.

Polisi Filipina melaporkan sedikitnya 5.856 tersangka narkoba telah tewas dalam penggerebekan. Lalu, lebih dari 256 ribu lainnya ditangkap sejak dimulainya tindakan keras tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement