REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada 3 November 2020, para imigran Muslim yang terkena dampak larangan perjalanan Presiden Donald Trump harap-harap cemas. Ribuan imigran Muslim yang telah diasingkan dari AS atau dipisahkan dari orang yang mereka cintai begitu berharap pada hasil pemilu nanti.
Mereka berharap, larangan perjalanan yang dianggap memecah belah bisa diakhiri, seperti yang telah dijanjikan oleh kandidat lawan dari Partai Demokrat, Joe Biden, di hari pertama jika ia terpilih nanti.
Harapan tinggi akan perubahan melalui pemilu ini salah satunya diungkapkan oleh Afshin Raghebi, kelahiran Iran. Ia dicegah masuk kembali ke AS pada 2018 saat menyelesaikan proses tempat tinggal permanennya. Ia berharap bisa bersatu kembali dengan istrinya.
"Saya merasa seperti negara saya telah menceraikan saya dari suami saya," kata istri Afshin, Pamela, kepada Associated Press, dilansir di The Arab Weekly, Selasa (20/10).
Pamela Raghebi lantas menyerukan agar orang Amerika merangkul identitas negaranya sebagai bangsa imigran dan membuat suara mereka didengar dalam pemilihan nanti. "Pergi dan pilih, pilih! Kami harus memiliki pemerintahan baru," ujarnya.
Pasangan itu adalah satu dari ribuan orang yang hidupnya dihancurkan secara paksa oleh kebijakan era Trump. Menurut para pakar, kebijakan itu telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diatasi.
"Kita berbicara tentang hubungan yang putus, pernikahan berakhir, kita berbicara tentang orang-orang yang disponsori oleh orang Amerika untuk datang ke Amerika Serikat dan para sponsor itu tidak lagi ada untuk mensponsori mereka," kata analis imigrasi Cato Institute, David Bier.
Baca juga: Suara Muslim Faktor Penting Tentukan Presiden AS Berikutnya