REPUBLIKA.CO.ID, Dalam bukunya yang cukup berani, sejarawan asal Kanada, Graham E Fuller, membuat pengandaian yang menarik. Ia bertanya, Bagaimana sebuah dunia tanpa Islam?
Untuk membangun alternatif jawabannya, Fuller menyinggung generalisasi stigma yang kerap dilontarkan Barat kepada Timur atau Islam. Ia berusaha menunjukkan, banyak faktor pemicu pertentangan antara Barat dan Timur yang sudah ada, bahkan sebelum Islam datang.
Pada awalnya, Fuller memaparkan fakta historis, Eropa mengalami keterpecahan antara Kristianitas Barat (Katolik Roma) dan Kristianitas Ortodoks. Yang satu berpusat di Roma, sedangkan yang lain di Konstantinopel (Istanbul). Sejak ditaklukkan Islam, pusat Kristen Ortodoks pindah ke Moskow, yang disebut juga sebagai Roma Baru karenanya.
Perbedaan lainnya adalah, Konstantinopel merupakan wilayah budaya Yunani, sedangkan Roma merupakan Latin. Berbeda dengan eksklusivitas bahasa Latin, bahasa Yunani justru mempersatukan kawasan Mediterania.
Pada abad keempat, Kekaisaran Romawi/Byzantium menjadikan Kristen sebagai agama negara. Hal itu justru menjadikan negara mampu merasuki perumusan dogma-dogma agama tersebut. Konsili Nicea pada 325 adalah buktinya. Sejak saat itu, muncul pula aliran-aliran terkait, misalnya, ketuhanan Yesus atau Maria.
Pada 476, kekaisaran yang berpusat di Roma berakhir. Paus yang bertempat di Roma pun terkucil. Bagi Konstantinopel, paus itu tak lebih daripada Uskup Agung Roma sehingga tak berwenang mengklaim universalitas Kristen. Pada 1054, antara Roma dan Konstantinopel saling mengucilkan.
Endapan perasaan-perasaan ini merupakan bahan bakar untuk konflik ratusan tahun ke depan. Bahkan, ketika pada akhirnya Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mahmed pada 1453, orang-orang Kristen Ortodoks merasa beruntung sebab dikalahkan kaum Muslim Turki, bukan orang Latin yang Kristen. Sebab, mereka tahu, gereja-gereja Ortodoks akan tetap hidup di bawah pemerintahan Muslim.
Lebih jauh, menurut Fuller, sesungguhnya Perang Salib yang berlangsung sejak abad ke-11 sampai ke-13 tetap akan terjadi sekalipun Islam tidak pernah ada. Perang yang dipicu pidato Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont 1095 ini terjadi selama beberapa tahap. Namun, dalam pidato tersebut sebenarnya tidak ada penyebutan satu kali pun Islam atau Muslim, tetapi hanya orang kafir. Sebutan yang sesungguhnya tidak jelas batas-batas referensinya karena bisa merujuk pada siapa pun yang dianggap berbeda.
Puncaknya, pada Perang Salib gelombang keempat yakni tahun 1204, bala tentara Salib justru menyerbu Konstantinopel dan membunuh warga kota itu secara kejam, meskipun mereka toh Kristen seperti mereka. Kejadian ini seolah menegaskan ujaran Paus Innocentius III bahwa harapan jangka panjang Perang Salib sebenarnya adalah mengembalikan kesatuan gereja antara Timur dan Barat. Penjarahan atas Konstantinopel tentu saja memupuskan harapan ini.
Senarai peristiwa-peristiwa historis benturan antara Barat dan Timur itu dapat saja diteruskan. Namun, akar daripadanya hanyalah embusan sentimen-sentimen yang menegaskan batas kami-kalian. Padahal, persoalan identitas memerlukan kajian yang lebih mendalam dan jernih sehingga bertujuan mempererat hubungan antarperadaban, bukan malah saling membenturkannya.
Agaknya, dunia lebih memerlukan lebih banyak ilmuwan yang mengambil posisi seperti Fuller. Ilmuwan-ilmuwan demikian dapat muncul dari Barat maupun Timur. Mereka yang menilai bahwa polarisasi demikian tidak perlu dipandang kaku, tapi cair.
Terlebih lagi, dalam pesatnya perkembangan teknologi informasi mutakhir. Prasangka dan pengetahuan akan identitas the others bercampur-baur dalam banjir informasi. Mereka begitu mudah diakses siapa saja dan kapan saja.