REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Tokoh Muslim dari zaman klasik selain asy-Syahrastani yang mengkaji agama-agama adalah Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (wafat 1064). Sosok kelahiran Kordoba ini berasal dari keluarga Persia yang hijrah ke Andalusia.
Ayahnya merupakan pejabat penting di lingkungan Dinasti Umayyah dalam pemerintahan Kalifah Hisyam II. Ibn Hazm merupakan pemuka mazhab literalis, Zahiri, yang berkembang di Andalusia pada abad kesembilan. Sejak usia 32 tahun, Ibn Hazm meninggalkan ranah politik dan sepenuhnya mengabdi di dunia akademis. Karya Ibn Hazm mengenai agama-agama adalah Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal.
Artikel Ibn Hazm on Christianity: An Analysis to His Religious Approaches (2011) menjelaskan asal mula kanon karya pemikir Muslim tersebut. Ibn Hazm diketahui menggunakan metode tekstual dan empiris untuk mengkaji agama-agama non-Islam. Pelbagai data mengenai agama-agama yang tersedia di zamannya dianalisis Ibn Hazm.
Kajiannya atas agama Kristen berdasarkan konsep akal (common sense), persepsi empiris, serta argumentasi-argumentasi yang dikeluarkan oleh teks-teks otoritatif, semisal Gereja. Ibn Hazm juga mempelajari sekte-sekte dalam Kristen, antara lain Arius, Bawls al-Shamshati, dan Macdunius.
Bagi Ibn Hazm, tidak satupun dari sekte-sekte Kristen yang dikajinya menyinggung soal Trinitas atau kesamaan Isa (Yesus) terhadap Tuhan. Karena itu, Ibn Hazm sampai pada kesimpulan bahwa konsep teologi Kristen, khususnya Trinitas, tidak memiliki landasan yang jelas pada teks-teks otoritatif agama itu.
Dalam Kitab al-Fasl, Ibn Hazm tidak memakai deskripsi yang kronologis atau berdasarkan pada geografi tempat menetapnya umat agama-agama. Ia semata-mata berfokus pada doktrin utama dari agama yang dikajinya. Ibn Hazm juga menjadikan Islam sebagai tolak ukurnya dalam berhadapan dengan agama-agama lain. Karena itu, Islam ditegaskannya sebagai satu-satunya agama yang benar di hadapan Pencipta.
Saat mengkaji agama Kristen, misalnya, Ibn Hazm serta-merta menunjukkan sekte-sekte di dalam agama ini tanpa dengan mendalam menjelaskan latar belakang munculnya sekte-sekte demikian. Dalam konteks modern, Ibn Hazm termasuk sarjana yang menggunakan metode kritis atau polemis.
Gaya polemis itu mengindikasikan bahwa Ibn Hazm menjadikan tauhid sebagai awal keberangkatan pengkajian yang sekaligus untuk membantah keyakinan umat agama non-Islam itu.