REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Perang Tabuk sebenarnya merupakan sambungan dari perang sebelumnya, yakni Perang Mu’tah. Nabi mendengar kabar bahwa Bizantium dan sekutunya yaitu Ghassaniyah telah menyiapkan pasukan besar untuk menginvasi Hijaz guna menekan penyebaran kekuatan Muslim dengan pasukan sebanyak 40 ribu-100 ribu orang.
Dalam buku Islam Agama Perdamaian karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan, di lain pihak Kaisar Romawi Heraclius menganggap bahwa kekuasaan Muslim di jazirah Arab berkembang dengan pesat. Sehingga sebelum semakin berkembang, Heraclius berupaya untuk menaklukkan Arab.
Maka sebagai upaya preventif melindungi umat Islam di Madinah, Rasulullah SAW menyiapkan pasukan yang terdiri dari 70 ribu orang. Yakni jumlah pasukan terbanyak yang pernah dimiliki umat Islam pada masa itu. Maka pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyah, Nabi memaklumatkan perang Tabuk setelah enam bulai peristiwa Pengepungan Thaif.
Hadirnya perang Tabuk yang dimaklumatkan Nabi setidaknya dapat diambil dalam dua kesimpulan. Pertama adalah tentang cinta tanah air, dan yang kedua adalah tentang perlindungan dan penjagaan diri dan bangsa yang strategis.
Perang yang berkecamuk bukan didasari Nabi sebagai tindakan memberangus suatu penduduk atau bangsa lain. Namun merupakan jalan satu-satunya yang terdesak yang perlu Nabi lakukan guna melindungi kepentingan umat, bangsa, dan juga keselamatan-kepentingan banyak pihak.