Rabu 21 Oct 2020 09:08 WIB

KB PII: Maraknya Unjuk Rasa Tanda Terjadi Ketidakadilan

Maraknya unjuk rasa tanda adanya ketimpangan sosial dan ketidakadilan.

Seorang massa aksi berfoto dengan anggota TNI usai unjuk rasa di Jakarta, Selasa (20/10). Aksi tersebut berakhir tanpa kericuhan setelah anggota TNI membubarkan massa aksi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Seorang massa aksi berfoto dengan anggota TNI usai unjuk rasa di Jakarta, Selasa (20/10). Aksi tersebut berakhir tanpa kericuhan setelah anggota TNI membubarkan massa aksi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII), Nasrullah Larada, mengatakan maraknya demonstrasi Indonesia dan di berbagai negara, harus dicermati. Situasi ini menunjukan ada hal yang tidak beres yakni adanya ketimpangan sosial dan ketidakadilan.

''Maraknya demonstrasi di Indonesia dan di berbagai negara hari-hari ini menunjukkan adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat di negara setempat. Dan ini penyebabnya adalah terjadi ketidakadilan yang itu bisa datang dari perlakuan hukum, ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial yang melebar, kebijakan pemerintah yang cenderung me”nafi”kan suara rakyat, lahirnya UU tanpa melihat situasi masa pandemik, dan lain sebagainya,'' kata Nasrullah, di Jakarta, Rabu (21/10).

Bukan hanya itu, lanjutnya, maraknya aksi massa yang kini juga merebak di negara lain, akan berefek domino dan saing merembet ke negara-negara lain, terlebih dimasa pandemik dan resesi ekonomi. "Khusunya untuk Indonesia, jika pemerintah  tidak cermat melihat situasi, tidak hati hati, atau bahkan menghadapi para demonstran dengan cara-cara represif, efeknya pasti berakibat fatal dan akan memperlebar efek domino sampai ke daerah daerah."

Menurut Nasrullah, di Indonesia saat ini memang sedang maraknya unjuk rasa menolak hadirnya UU Ciptaker. Dan ini mungkin saja para pendemo belum tahu isi UU tersebut secara detail."Namun saya yakin juga pihak pemerintah pun masih banyak yang belum baca apalagi mempelajari secara rinci 812 halaman yang terbagi dalam ratusan pasal dan penjelasan,'' tandasnya.

"Bahkan awal pasca diketoknya UU, justru yang diperdebatkan isu murahan saling klaim belum membaca dan mempelajari. Padahal kedua pihak sama sama belum membaca. Inilah ciri ciri negara berkembang seperti Indonesia, yang hanya meributkan kulitnya tanpa paham isi sebenarnya. Tragisnya yang meributkan itu adalah kalangan pejabat dan yang dilawan masyarakat. Mestinya pihak eksekutif dan legislatif justru bersikap arif dan mengayomi, bukan malah lempar isu “anda pasti belum baca”. Bagaimana mau baca, lha wong jumlah halaman saja sempat jadi isu yang sangat memalukan,'' ungkap Nasrullah.

Ditengah maraknya aksi massa, bahkan muncul tindakan represif yang berimbas kepada proprerti milik Pelajar Islam Indonesia. kantor PII dan GPII di Menteng Raya 58 Jakarta, adalah bukti membabibutanya cara menangani para demonstran. 

"Jika memang dianggap ada aktor intelektual, lebih baik langsung tangkap saja tanpa banyak wacana yang dilontarkan ke publik, pun demikian jika ada donatur atau susupan asing sebagaiman dilontarkan seorang pejabat negara,'' kata Nasrullah menandaskan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement