REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Moody’s Investor Service memprediksi pelemahan kredit akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi termasuk penerapan ulang penguncian wilayah atau lockdown nasional akibat meningkatnya infeksi di sejumlah negara.
Wakil Presiden Senior Moody’s Clara Lau mengatakan ketegangan perdagangan yang meningkat khususnya antara China dan Amerika Serikat berisiko semakin mengancam pemulihan ekonomi global.
“Tanpa pengendalian penuh atas virus atau vaksin yang diberikan secara luas, pemulihan ekonomi akan menghadapi tantangan dan pada gilirannya terus menekan profil kredit perusahaan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (21/10).
Namun, suku bunga di berbagai negara tetap pada posisi terendah dalam sejarah bank sentral, memberi sinyal tak akan menaikkan suku bunganya sampai ada tanda-tanda kemajuan yang kuat pada data pengangguran dan sasaran inflasi. Alhasil perusahaan secara umum memiliki akses ke pendanaan dengan biaya rendah.
“Perusahaan secara finansial lebih lemah akan melakukan untuk menghadapi tekanan pembiayaan,” ucapnya.
Secara keseluruhan, pangsa rating dengan implikasi negatif, portofolio perusahaan nonfinansial akan meningkat 28 persen pada akhir kuartal tiga 2020 atau setara dengan kuartal sebelumnya.
“Ada tiga default rating atau perusahaan berpotensi gagal membayar utang pada kuartal III. Hal ini menjadikan jumlah perusahaan yang mengalami default rating selama sembilan bulan pertama 2020 menjadi 11 perusahaan,” ucapnya.
Menurutnya dua perusahaan default diantaranya berasal dari China sementara satu lainnya adalah perusahaan Indonesia yakni Modernland Realty Tbk. Terakhir, Moody's memproyeksikan PDB riil untuk ekonomi negara G20 berkontraksi sebesar 4,6 persen secara kolektif pada 2020.
“Kecuali China, aktivitas ekonomi setiap negara G-20 kemungkinan besar akan turun tahun ini,” ucapnya.